Selasa, 17 Maret 2009

PUSAT KEKHILAFAHAN ISLAM TERAKHIR

Dari Jakarta berangkat dengan menggunakan pesawat Turkish Airline, jenis tri star yang mempunyai 3 engine di buntut pesawat, dengan warna hitam aksentuasi strip merah.

Seperti biasa, pisau lipat victorinox yang selalu setia menemani perjalanan tidak pernah saya tinggalkan, hanya kalau dulu sebelum peristiwa WTC benda-benda seperti itu boleh kita bawa didalam backpack, nah sekarang harus dititipkan kepada awak pesawat yang boleh kita minta lagi setelah pesawat mendarat.
Boarding seingat saya waktu itu adalah jam 00.30 pagi waktu Jakarta.
Punya fasilitas lounge di airport tapi tidak dimanfaatkan habis sepi tidak ada kawan yang bisa diajak kenalan untuk cerita, memang sempat bertemu satu keluarga yang akan berliburan ke bangkok berisik sekali suaranya.

Dalam perjalanan transit sebentar selama kurang lebih 2,5 jam di Bangkok, dengan suasana kotanya yang hirup pikuk (dilain kesempatan akan saya tuliskan), sehingga saya tidak punya selera keliling-keliling walaupun hanya disekitar airport, jadi waktu menunggu dihabiskan dengan membaca buku tour guide yang sebelum berangkat sudah saya minta di kedutaan Turki di Jakarta.

Sekitar menjelang fajar saya sulit memastikannya mungkin sekitar jam 7 pagi waktu Istanbul pesawat mendarat di Attaturk airport, yang ternyata juga merangkap sebagai airport militer Turki, jadi penerbangan ditempuh hampir 11 jam.

Ucapan selamat datang yang saya terima di Istanbul adalah terpaan angin yang sangat dingin, setelah saya melihat termostat yang kebetulan terpampang jelas di salah satu dinding terminal kedatangan ternyata temperatur adalah max 8”C. dengan temperatur rata-rata 5”C

Aiportnya sepi dengan banyak sekali polisi yang mondar-mandir pakai baju seragam biru-biru, hanya agak sedikit terhibur dengan polisi-polisi wanitanya cantik sekel bodynya ‘allamaakkk…..!” sayang mukanya dingin semua, yang bikin ngiler pistol di pinggang mereka semua adalah automatic browning tidak seperti polisi-polisi di Indonesia dengan colt 32 karatan lagi.

Kemudian saya keluar pintu airport disana agak bimbang mau cari hotel dulu atau langsung memulai petualangan, yang pertama kali dilakukan adalah mencari money changer untuk menukarkan uang dollar dengan lira Turki, wadaoo tiba-tiba saya menjadi milyader, dengan dollar yang saya tukarkan ketika di conversi menjadi lira jumlahnya bahkan mencapai puluhan juta lira Turki, maklum pada saat kedatangan saya Turki sedang mengalami inflasi yang bahkan mencapai 600% sehingga uang lira seperti tidak ada harganya sama sekali, masih ingat ketika membeli satu botol air mineral harus dibayar dengan harga 500.000 lira.
Dan pada kedatangan saya yang kedua kalinya (hanya ke kota Konya) istilah lira sudah diganti YTL (Yeni Turk Lira) dengan nilai konversi yang tidak terlalu besar.

Akhirnya saya memutuskan untuk mencari hotel dulu, yang tidak terlalu mahal maupun tidak terlalu murah yang bernama Spectra Hotel, lumayan…. hotel kecil tapi dekat dengan objek-objek yang akan saya kunjungi antara lain Hagia Sophia, bekas gereja yang dijadikan mesjid oleh Sultan Muhammad Al-Fatih pada hari Selasa 27 Mei 1453 dan memasuki kota itu, Sultan kemudian turun dari kudanya dan bersujud syukur kepada Allah, lalu pergi ke Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan mengubahnya menjadi masjid yang dikenal dengan Aya Sofia, kemudian langsung melaksanakan sholat Jum’at pertamanya setelah penaklukan yang kemudian menjadi awal ke Khilafahan Islam.

Di mesjid ini dipamerkan surat-surat Khalifah yang menunjukkan kehebatan Khilafah Utsmaniyah dalam menjamin, melindungi, dan memakmurkan warganya ataupun orang asing pencari suaka tanpa pandang bulu.
Tertua ialah surat sertifikat tanah yang diberikan tahun 1519 kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kejamnya Inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Al-Andalus.

Yang tidak jauh dari tempat tersebut ada blue mosque sebenarnya sih tidak biru tapi kalau dilihat dari kejauhan memang berwarna biru karena dibangun dari marmar yang warnanya biru, kemudian taman Sultan Ahmed Square, sore hari walau udara sangat dingin saya datangi asik-asik pemandangan yang sangat Indah bagi kaum laki-laki.

Mungkin karena udara yang dingin kita tidak akan pernah melihat orang jalan santai pelan meleot-leot seperti di negeri kita.

Banyak sekali tujuan atau tempat yang akan saya datangi, akan tetapi saya mengutamakan untuk mendatangi Selat Bosporus dulu dengan Golden Hornya, yang memisahkan benua Eropa dengan Asia, sedangkan Istanbul terletak pada benua Eropa, untuk mengingat bagaimana Muhammad Al-Fatih dulu menaklukkan Konstatinopel dengan dibekali 150.000 pasukan, kemudian mengganti namanya menjadi Istanbul yang sekarang sedang di injak oleh penulis.
Pada saat itu Muhammad Al-Fatih masih berusia 23 tahun, dimana pemuda-pemuda kita dalam usia seperti itu sibuk dugem.

Di selat Bosporus sangat banyak sekali taman-taman yang menghadap ke selat dengan selalu dilewati oleh kapal-kapal besar termasuk kapal-kapal pesiar yang atapnya terbuka mondar-mandir terus, membeli roti Turki dengan segelas teh dalam gelas karton, kemudian merasa sok jagoan mencoba duduk di kursi-kursi panjang, niatnya sih mau berkhayal, tapi ampun-ampun deh dingin sekali udaranya mana tahaaaan, cabut lagi deh.

Yang dikunjungi di Istanbul termasuk Istana Dolma Bahce, mesjid Sulaimaniye, termasuk berziarah ke makam Sultan Muhammad Al-Fatih, untuk melihat dimana si penakluk besar tersebut jazadnya disemayamkan.
Dan lain-lain peninggalan ke Khilafahan Islam.

Istanbul memang sangat Indah tapi jauh lebih kental nuansa Erpanya dari pada nuansa Islam, mungki ini diakibatkan dari politik sekulerisasi yang dilakukan oleh Mustapa Kemal Atta-Turk, seorang komprador yahudi, yang menghancurkan ke Khilafahan.

Hampir semua tempat yang dikunjungi oleh penulis di Istanbul, yang menandakan bahwa kota ini adalah sisa dan benteng terakhir ke Khilafahan Islam hanyalah menara-menara mesjid yang semuanya meruncing menghadap kelangit, seperti pensil.

Penulis sempat berkenalan dengan seorang mahasiwa Turki yang namanya Hamid Kalkan seorang mahasiswa filsafat program Doktoral, nah dia lah yang menjadi penunjuk jalan selama penulis di Turki dengan barter jika dia ke Indonesia maka penulis yang akan menjadi guidenya.
Dia mengatakan 90% rakyat Turki beragama Islam tapi 15 % dari sembilan puluh persen tersebut yang bisa yang bisa sholat, sedangkan dia sendiri al-fatihah saja tidak hapal.

Setelah beberapa hari di Istanbul, sempat juga merasakan bagaimana rasanya mandi Turki, nonton tari perut, nah pada saat nonton tari perut ini penulis melihat suatu suasana yang agak ganjil, karena di dalam ruangan tempat acara tari perut tersebut penuh dengan meja-meja yang diatasnya ada bendera-bendera dari negara-negara para pengunjung, karena penulis berasal dari Indonesia dan tempat telah dipesankan sejak siang, diatas meja penulis ada bendera merah putih Indonesia.
Yang aneh ada meja berbendera Palestina di susun dan yakin bukan suatu kebetulan berhadapan dengan meja yang berbendera Israel.
Para tamu atau turis dengan dua meja yang berbeda bendera tersebut terlihat damai-damai saja bahkan mereka saling berangkulan, tertawa bersama.

Penulis sempat ingat cerita seorang kawan dari Palestina yang katanya : “Jika melihat ada orang-orang palestina yang bisa keluyuran ke luar negeri dari palestina serta masih muda seumuran penulis maka itu adalah orang Palestina pengkhianat atau komprador Yahudi, walaupun ketemunya di Makkah ketika di musim haji, sebab untuk bisa mendatangi satu camp atau wilayah palestina ke wilayah palestina yang lain perlu surat jalan yang sangat rumit bahkan nyawa taruhannya, karena harus melewati wilayah-wilayah pendudukan Israel, atau mereka adalah para refuge yang pengecut…!”. Wallahualam.

Hari terakhir di Istanbul penulis menghabiskan waktu ke musum Topkapi untuk melihat peningalan Rasulullah yang cukup lengkap, karena besok hari akan ke kota Konia.
Di museum ini penulis merenung sendirian melihat orang mondar mandir, membayangkan hidup ratusan tahun yang lalu dan membeli sebatang suling yang anehnya jika ditiup hanya mengeluarkan nada-nada minor jadi bisa bikin sedih atau terharu.
Besok penulis akan ke Konya, kota tempatnya Jalaluddin Rumi.

Sengaja penulis tidak menuliskan tempat-tempat lain yang sebenarnya sangat banyak lagi, tapi karena buat penulis tidak menarik, jadi jari-jari ini juga agak malas mengetikkannya di papan keyboard, mungkin karena tidak ada getaran-getaran atau energi emosionalnya, ataupun spiritual.
Apalagi mesjid-mesjid atau bangunan-bangunan tua yang dikunjungi bahkan tidak termasuk objek turis padahal sarat nilai sejarah sama sekali tidak terawat, rata-rata menjadi saksi bisu yang merana.
Tapi istana-istana yang penuh dengan kemewahan tetap dijaga bahkan ada istana yang masukpun sepatu kita harus dilapisi plastik kalau tidak mau buka sepatu.

DI KONYA:
Jalaluddin Rumi adalah seorang sufi besar sepanjang zaman, yang telah membaktikan lebih dari separuh hidupnya untuk mencari kebenaran-kebenaran terdalam dari ajaran agama, kekuatan dari kebenaran tersebut sebagai pendorong dan pembimbing umat manusia dalam membentuk kebudayaan dan peradaban besar yang langgeng.

Pencarian yang panjang itu telah membawa sang sufi ke dalam penjelajahan dan pengembaraan ruhani yang berliku-liku dan penuh rintangan, namun buahnya adalah pengalaman dan kebahagiaan ruhaniah yang lezat dan tidak ternilai harganya.
Semua itu memperkuat keyakinan sang sufi bahwa, seperti dikatakan al-Qur’an Qaaf:6, “Tuhan lebih dekat (pada manusia) dibanding urat lehermu sendiri” dan “Dia selalu bersamamu (“wa huwa ma`akum ayna-ma kuntum (Al-Hadiid :4) ). Lagi, “Ke mana pun kau memandang akan tampak wajah Allah” (QS Al-Baqarah:115).

Begitu masuk Konya, nama Rumi hadir di hampir seluruh sudut kota yang juga nama provinsi ini.
Di taman, toko, dan papan reklame.
Bahkan, ada nama produk beton yang diidentikkan dengannya.
Logonya bisa dikenali sekilas seperti sufi berputar atau whirling dervishes yang menjadi kekhasan Rumi.

Sangat mengherankan, makamnya begitu harum. Padahal, menurut seorang pemandu wisata Turki, di sini dilarang memakai wewangian atau parfum.
Wangi yang menebar di lokasi makam diyakini oleh masyarakat Turki karena keramatnya Jalaluddin.
Wallahualam.

Barulah dikota ini sedikit terasa getaran-getaran energi spiritual, semangat kemusliman di kota tersebut sangat terasa. banyak yang mengenakan jilbab.
Halaman makam sufi kelahiran 6 September 1207 itu seluas lapangan basket. Dikelilingi bangunan untuk kantor dan kamar-kamar berisi diorama kehidupan "pesantren'' sufi Rumi.
Selain sebidang lapangan rumput, di halaman itu juga ada makam para pembantu Rumi.
Makam-makam juga ada di halaman samping dan belakang mausoleum Rumi. Ada dua bangunan makam di halaman yang berisi jasad murid Rumi.

Makam-makam di dalam pagar tersebut unik.
Nisannya langsing setinggi kira-kira satu meter.
Ada kalimat yang bertulisan huruf Arab. Nisan itu bermahkota kopiah tinggi yang dibebat surban (dari beton juga).
Mahkota nisan itu memang menjadi ciri khas semua makam di sana, termasuk makam-makam yang terletak di ruang utama di sekitar makam Rumi.
Ini mengingatkan pada penutup kepala Rumi.
Model nisan itu juga banyak ditemui di pemakaman umum di seberang jalan makam Rumi.

Sebelum masuk ke pintu makam, pengunjung harus melapisi alas kaki dengan plastik hijau.
Plastik itu sudah diberi karet sekelilingnya.
Sehingga tinggal memasang di sepatu.
Bila plastik-plastik tersebut habis, pengunjung harus melepas sepatu untuk melewati karpet-karpet tebal bermotif bunga-bunga di seluruh lantai dalam makam Rumi.

Di sebelah pintu masuk bagian dalam, ada larangan merekam dan memotret. Petugas akan segera mendatangi dan menegur bila ada yang nekat. Tak ada penjelasan kenapa dilarang.

Suasana di makam itu sendiri syahdu.
Lampu remang-remang romantis dan syahdu menerangi ruangan berlangit-langit berbentuk lengkung-lengkung yang bagian dalamnya banyak kubah itu.
Sekujur langit-langit dan dinding dilukisi kaligrafi warna-warni.
Suasana diwarnai suara seruling lirih mengiba-iba, penulis tersadar ternyata memebeli suling di Topkapi Istanbul itu salah yang benar membelinya adalah di kota Konya.
Rumi memang menggunakan instrumen seruling, selain berbagai rebana, mandolin, dan rebab (istilah di sana juga rebab), dalam bersufi.
Di ruang inilah dulu Rumi mengajarkan ilmu hakikat keagamaan.

Penulis mengutipkan salah satu pusi jalaluddi Rumi tentang cinta:


Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja!
Gelorakan jiwa kita, Kekasih –sebentar saja!
Dari Konya pancarkan cahaya Cinta
Ke Samarkand dan Bukhara –sebentar saja!

Jika kilat cinta telah menyambar satu hati
Maka ketahuilah ada cinta di hati yang lain

Jika cinta Tuhan telah tumbuh di hatimu
Tak diragukan lagi Tuhan pasti menaruh cinta kepadamu
Tak ada suara tepuk tangan yang lahir dari satu tangan

Kebijaksanaan Ilahi adalah takdir dan suratan nasib yang membuat kita saling mencintai satu sama lain
Karena takdir itulah, setiap bagian dari dunia ini bertemu dengan pasangannya

Dalam pandangan orang-orang bijak
Langit adalah laki-laki dan bumi adalah perempuan
Bumi menumpuk apa yang telah dijatuhkan oleh langit

Jika bumi kekurangan panas, maka langit mengirimkan panas kepadanya
Jika bumi kehilangan kesegaran dan kelembaban, langit segera memulihkannya
Langit memanyungi bumi, layaknya seorang suami yang menafkahi istrinya

Dan bumipun sibuk dengan urusan rumah tangga
Ia melahirkan dan menyusui segala yang ia lahirkan
Tak ubahnya bumi dan langit dikaruniai kecerdasan
Karena mereka melaksanakan pekerjaan makhluk yang memiliki kecerdasan

Andaikan pasangan ini tidak mengecap kenikmatan, mengapa mereka bersanding seperti sepasang kekasih?
Tanpa bumi, akankah pohon dan bunga bisa berkembang?
Sementara tanpa langit, akankah air dan panas bisa tersediakan?

Sebagaimana Tuhan memberikan hasrat pada laki-laki dan perempuan sehingga dunia menjadi terpelihara oleh kesatuan mereka
Tuhan juga menanamkan ke semua eksistensi, hasrat untuk mencari belahannya


Pesona Rumi memancar pula dari ritual meditasi persaudaraan kerohanian ini. Musik dan tarian berputar merupakan ritual mereka yang sangat khas, dan tetap hidup hingga sekarang di beberapa daerah di Timur Tengah, negara-negara Balkan, bahkan Eropa.
Di samping itu, bentuk ritual Maulawiyah telah pula mengilhami beberapa aktivitas seni-budaya di beberapa negara, termasuk Indonesia. Hingga hari ini.

Dikota ini penulis menonton tarian sufi yang berputar tersebut The Whirling Dervishes, pada saat menontonnya orang-orang menatap dengan mata melihat gerakan berputar-berputar…berputaar..dan tiba-tiba berhenti atau dengan gerakan-gerakan berputar lainnya dari pelan menjadi cepat..cepat cepat dan sangat cepat..kemudian melambat….dahsyat kalau mengalaminya langsung atau terlibat dalam tarian tersebut penulis yakin akan mencapi extace hal ini yang memancing penulis ingin medatanginya untuk kedua kalinya demi untuk menikmati sensasi tersebut.
Dikota ini penulis memang tinggal agak lama lebih lama dari waktu di Istanbul.
Entah kenapa, jika Istanbul indah, Konya terasa romantis, walaupun sebenarnya Konya adalah kota industri.

Walaupun banyak kota-kota lain di Turki yang dikunjungi sampai ke Ankara, Izmir, Edden, Aspendos yang terkenal dengan teater kunonya yang hingga sekarang masih bertahan sebagai museum teater berkapasitas 15.000 orang, serta objek-obejek wisata lainnya seperti pemandian air garam yang panas.
Tapi hanya dua yang diceritakan Istanbul sebagai pusat ke Khilafahan Islam dengan Konya sebagai kota para pengagung “cinta”



Posting Komentar