Jumat, 17 Oktober 2008

KUCING

Aku tak tahu persis ukuran pastinya. Yang jelas kucing ini aku kenal mulai dari kecil sekali, hingga kini beranjak tua. Jadi sudah dalam bilangan tahun. Yang aku heran, meskipun sudah bertahun-tahun hewan ini tanpa teman dengan kucing manapun, hewan ini tetap betah tinggal bersamaku, walau tanpa saling mengacuhkan.

Sampai pada suatu hari, ketika di suatu sore, aku dan kucing ini menjadi begitu dekatnya oleh sebab yang tak terduga. Semua berawal dari kebiasaanku naik ke genting rumah jika udara gerah. Memandang langit, menikmati keluasan dari sebuah ketinggian, adalah hobiku sejak lama. Si kucing ini, entah kenapa juga sedang berada di genting yang sama.

Ia berbaring, dengan mata lurus ke barat, ke arah hari yang mulai senja. Tak seperti biasa, ia sama sekali tak terusik oleh kedatanganku. Akulah yang ganti kaget oleh ulahnya yang tak biasa. Sedang apakah hewan ini? Sedang sedihkah dia? Baru aku sadar sepenuhnya, betapa ia selama ini memang sebatang kara. Tidak sepertiku, yang punya kawan untuk berkomunikasi.

Lalu kucing ini? Matanya yang lurus itu, jangan-jangan ia sedang membayangkan ibu bapaknya yang sudah tiada. Sanak saudaranya yang juga entah kemana. Sudah sendiri, nebeng pula dirumah manusia. Soal makan, ia juga dibiarkan mencarinya sendiri.

Kucing yang sedang menerawang ke arah matahari terbenam itu, memang tidak tampak sedang menyalahkan aku. Ia lebih seperti meratapi kemalangannya sendiri. Sejenak kemudian aneka lantunan suara dari beberapa masjid serempak menyuarakan azan bersama. Kucing ini masih terpaku, menatap hari yang berangkat senja. Dan di ketinggian genting ini, kami berdua merasa sangat sepi. Aku dan kucing itu, pasti akan ketemu magrib juga. Sama-sama akan menemukan hari senja dan kembali ke mati bersama-sama, entah siapa yang duluan...?

Posting Komentar