Selama ribuan tahun, Jerusalem merupakan kota ziarah agama samawi: Yudaisme, Kristen, dan Islam. Mereka berziarah ke Tembok Ratapan, Gereja Makam Kristus, Masjid Al Aqsha. Tetapi pada saat bersamaan, kesucian kota Jerusalem dirobek berbagai konflik yang tak kunjung selesai antara Israel dan Palestina. Bagaimana upaya penyelesaian damai antara Israel dan Palestina?
Kemudian benarkah Jerusalem akan menjadi kota pengadilan akhir umat manusia? Benarkah Mesias akan datang kembali melalui Pintu Gerbang Kerahiman yang kini masih tertutup? Buku ini mengajak Anda kembali ke sejarah masa lampau sekaligus melihat Jerusalem di akhir zaman.
TAK ada tempat di bumi ini yang dapat memberikan kasih, kebencian, dan gairah sekaligus selain Jerusalem. Itulah kalimat pertama yang ditorehkan Trias Kuncahyono dalam buku berjudul Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir ini.
Jerusalem, yang digambarkan sebagai pusat atau pusar dunia hingga hari ini menjadi fokus perhatian dunia. Bahkan, Jerusalem menjadi episentrum berbagai persoalan dunia yang tidak kunjung selesai.
Buku ini merupakan karya jurnalistik terbaik Trias selama menjadi wartawan harian Kompas. Trias berhasil memadukan reportase yang lengkap dan komprehensif dengan riset literatur yang mendalam. Dukungan referensi yang kaya dan luas menjadikan buku ini sebagai aktualisasi sejarah kehidupan umat beragama.
Sejak dicetak dua bulan silam, hingga diluncurkan melalui sebuah diskusi Selasa (24/6) lalu, diam-diam buku ini sudah mengalami tiga kali cetak ulang. Tak kurang 9.000 eksemplar buku ini sudah dilahap pasar.
Masyarakat sangat bergairah mengetahui berbagai kisah dan pesan dalam buku ini. Gairah itu sama menggeloranya dengan harapan mereka terhadap terwujudnya perdamaian di kota yang senantiasa berada di tengah kecamuk konflik itu.
Dalam buku ini, Trias mendeskripsikan keunikan Jerusalem tidak saja berasal dari warisan sejarah panjangnya, namun juga dari arti spiritualnya. Tiga agama besar dunia, yaitu Yudaisme, Kristen, dan Islam, walau ketiganya berbeda dalam konsep fundamental tentang Tuhan dalam iman dan ritual ibadahnya, disatukan kecintaan mereka terhadap Jerusalem.
Dengan mengutip buku Leah Sullivan, Jerusalem: The Three Religions of the Temple Mount, diceritakan, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam memandang Jerusalem sebagai ‘pintu ke surga.’ Karena di sanalah dianggap terjadi pertemuan antara surga dan bumi.
Jerusalem dikuduskan agama dan tradisi oleh sejarah dan teologi oleh tempat-tempat suci dan rumah ibadah. Itulah Jerusalem, kota yang dipuja-puja, ditakzimkan umat Yahudi, Kristen, dan Islam.
Bagi orang Yahudi, Jerusalem adalah satu-satunya kota suci di dunia. Itulah kota yang dipilih Tuhan sebagai ‘tempat kediaman nama-Ku,’ sebagaimana tertulis dalam kitab tawarikh. Bagi umat Kristen, Jerusalem adalah kota suci yang sangat penting, karena di kota itulah Yesus hidup, berkarya, wafat, dan bangkit untuk menebus dosa umat manusia serta naik ke surga. Dari kota itulah ajaran cinta kasih kepada sesama umat manusia disebarkan.
Sementara itu bagi umat muslim, Jerusalem adalah kota tempat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan malamnya dari Mekah ke Jerusalem, Isra Mikraj ke Sidrat Al Muntaha. Perjalanan malam Nabi itu memperkuat hubungan antara Mekah dan Jerusalem sebagai kota suci.
Meskipun perbedaan ketiganya jelas kentara, ketiga agama tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, dipersatukan ‘klaim bahwa mereka adalah keturunan Abraham.’
Ketiga agama besar itu menghormati satu tempat yang sama di Jerusalem, yakni Temple Mount, yang dihubungkan dengan suatu peristiwa penting dalam kehidupan Abraham yakni keputusan untuk mengorbankan putranya.
Orang Yahudi mengklaim sebagai keturunan dari Ishak, putra Abraham. Sementara itu, orang Arab adalah keturunan dari putranya yang lain yakni Ismail. Temple Mount yang juga disebut Haram al Sharif memiliki luas seperenam wilayah Kota Lama yang luasnya 1 km persegi dan terletak di atas Jerusalem Lama. Di atas Temple
Pemicu konflik
Jerusalem selama sekian abad sudah menjadi pusat perdamaian dunia. Meski selama 30 tahun terakhir kota itu ditaklukkan dan dihancurkan, sudah 20 kali pula kota itu dibangun.
Di kota itu, dua bangsa dan tiga agama hidup. Selama berabad-abad mereka bisa hidup rukun, berdampingan saling menghormati. Karena itu, sebetulnya, hidup berdampingan secara damai bukanlah sebuah impian.
Pada 1967, sebuah pertumpahan darah telah menjadi pemicu baru perselisihan politik. Perselisihan yang menyulut api kebencian dan kedengkian antarsesama, antarsaudara. Sungguh celaka jika akhirnya Jerusalem hingga hari ini juga menjadi simbol paling utama dari konflik yang kini mengancam seluruh dunia.
Akhir kata, buku ini memberi pesan yang mendalam kepada kita semua. Sungguhpun berbeda agama, berbeda suku bangsa, berbeda tradisi dan kebudayaan, manusia terikat pada satu tonggak sejarah, Jerusalem. Di tempat itulah, Tuhan sengaja menciptakan pluralitas. Karena itu, dengan buku ini, setiap orang harus membelalakkan mata, menyadarkan dirinya, bahwa manusia memiliki kiblat yang sama, Abraham yang sama, Tuhan yang sama.
Dalam diskusi tempo hari, para pembahas buku ini sepakat, semangat perdamaian Jerusalem harus menjadi landasan perdamaian di tengah masyarakat kita sehari-hari. “Pluralisme dan multikulturalisme di Jerusalem hendaknya menjadi pijakan sekaligus contoh bagaimana kita saling menghargai di tengah pluralitas dan multikulturalitas bangsa kita ini,” kata salah seorang pembicara, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Demikian pula pembicara lain seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan intelektual muda Zuhairi Misrawi yang pernah merasakan hidup di Jerusalem sepakat, persaudaraan dan kasih sayang antarpemeluk agama yang berbeda harus dicontoh. “Di Jerusalem, kaum muslim berbondong-bondong ke gereja untuk mengucapkan selamat Natal atau paskah kepada kaum Kristen. Di negeri kita ini, sekadar mengucapkan selamat Natal kepada saudara kita yang Kristen malah dianggap haram. Ini sungguh keliru,” kata Zuhairi.
Jerusalem, dalam dirinya mengandung pluralitas dan multikuturalitas. Di situ pula sebenarnya Tuhan meletakkan pelajaran yang berharga bagi umat manusia. Di kota ini, Tuhan sejak awal telah menyemaikan benih-benih kasih sayang, persaudaraan dan perdamaian antarsuku-suku bangsa, antarpemeluk agama. Dalam bahasa Iberani, Jerusalem berarti warisan perdamaian. Yerusha berarti warisan dan shalom berarti damai!
Harga: Rp.58.000,- + ongkos kirim sesuai tarif pos "kilat khusus", klik di: http://www.posindonesia.co.id/tarif_skh.php , dr
Posting Komentar