Jumat, 22 Agustus 2008 lalu Adhyaksa menilai Bupati Jember, Jawa Timur, MZADjalal, tidak sopan. Pasalnya, Bupati Jember itu mengundang kehadiran Mennegpora, tapi yang bersangkutan malah tidak ada di tempat saatkedatangannya.Tuan rumah menghilang.
Kekesalan Adhyaksa mengemuka sebelum shalat jumat di Masjid Universitas Muhammadyah, Jember. "Kalau seperti ini, Bupati Jember tidak sopan.
Mengundang saya untuk datang ke Jember guna melepas peserta gerak jalan tradisional (Tajemtra), namun orangnya tidak ada di tempat tanpa alasan yang jelas," tuturnya kepada beberapa wartawan.
Padahal jauh-jauh dari Jakarta, ia mesti numpak helikopter. Tidak semua agenda akhirnya ia datangi. Adhyaksa kecewa. Jika dihitung waktu, termasuk membatalkan agenda lain yang kiranya bejibun, plus biaya, perjalanan itu tak terbantahkan sia-sia.
Jika saja Adhyaksa menempatkan diri sebagai sosok negarawan yang kian hari Belum jua muncul di ranah ini, kesempatan itu seharusnya dapat dia pakai Menemui masyarakat Jember, paling tidak menghadiri seminar yang sudah diagendakan.
Seterusnya dengan jenaka dapat berdialog dengan masyarakat sambil “meledek” Pemda yang seakan menghilang. Akan lain jadinya. Pilihan sudah diambil Adhyaksa, sebagai pejabat publik Adalah hak rakyat menilai tabiat sang Menteri. Selasa, 26 Agustus 2008,
Adhyaksa hadir pada Acara Apresiasi Atlet Olimpiade Indonesia yang diadakan
Kompas Gramedia di Bentara Budaya. Acara mendadak Meriah ketika dirinya menyampaikan sambutan.
"Buat Eko sama Triyatno, selain bersyukur dapat medali, kalian harus bersyukur juga masuk di rubrik Sosok Kompas, saya saja selama jadi menteri belum pernah dijadiin sosok. Kompas itu berat, nggak sembarang orang bisa dijadikan Sosok.
Harus yang berprestasi, kamu harus berbahagia. Gitu ngelihat kalian di Sosok, aku langsung bilang ke istriku, liat ni atlet-atlet ini luar biasa, jadi Sosok, aku aja belum pernah," ujarnya.
Eko Yuli Irawan dan Triyatno, adalah dua atlet angkat besi yang masing-masing mendapatkan medali perunggu di Olimpiade Beijing lalu. "Besok, kalian laminating itu. Bilang orangtua, 'Mak, liat aku ada di Sosok, Pak menteri aja belum pernah'." kata Adhyaksa.
Entah telah mengevaluasi peristiwa Jember, atau memang cuma spontan, tetapi Jika saja Adhyaksa punya kerendahan hati, plus juga semua pejabat publik Berkenaan berkaca diri untuk mau berbagai jenaka, maka Anda nilailah dua paparan di atas, mana yang lebih enak? Mana yang lebih membekas positif di hati.
MASIH lekat dalam benak saya, bahwa sosok Adhyaksa ketika di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3, Setiabudi, Jakarta Selatan, rajin berolah raga basket.Karena keasikan slam dunk, di saat jam istirahat, waktu masuk kembali ke ruang kelas bajunya berbalut peluh.
Era itu, 1981 -1983, di salah satu kelas kami pernah bersama. Di saat jam olahraga, jika kerongkongan kering, kami melepas dahaga di kediamannya, yang kala itu, sepelemparan batu saja jaraknya dari halaman sekolah, masih ingat dibenak kadangkala makan siangnya hanya semangkok bakmi ayam yang kami kadang-kadang saling traktir.
Di kemudian hari saya melihat dari jauh, Adhyaksa menjadi Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Menegpora).
Jauh sebelumnya saya pernah bertemu dalam perjalanan menuju Makassar di Sekitar 1994. Kala itu saya tahu bahwa Adhyaksa menikahi puteri Artono Arismunandar -saat itu menjabat Dirjen Listrik dan Energi Baru. Artono adalah kakak kandung tertua Wismoyo Arismundar, mantan Danjen Kopassus, yang juga ipar almarhum mantan Presiden Soeharto.
Dan kala itu, bersama kelompok usahanya, Adhyaksa menjadi rekanan PT PLN.......!?, sedangkan ibunya adalah kerabat yang sangat dekat dengan Rugaya , isteri Wiranto ketua partai hanura. Jadi untuk menjadi pejabat publik buat dia adalah peluang dan peluang bukan peluang dan tantangan.
Setahu saya guru politik pertamakali buat dia adalah Haris Ali Moerfi anak dari Ali Moertopo salah satu menteri yang berpengaruh di zaman rezim Soeharto, dan menteri yang selalu meng-hancurkan gerakan-gerakan Islam demi alasan pragmatisme.
Sejak Adhyaksa menjadi Menegpora, beberapa kawan seangkatan di SMA, pernah mengajak untuk bermain tennis di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan, bersamanya.
Juga menghadiri pengajian sesama kawan se-almamater. Entah mengapa, saya belum pernah gabung. Kawan yang pada mentas itu saya simak dari jauh.
Sesekali mereka saya temui di acara seremoni, secara kebetulan, macam sekitar dua bulan lalu saya menjabat tangan Adhyaksa di saat ia hendak turun eskalator dari Ballroom Hotel Sahid Jaya. Kami bersalaman sekadar basa-basi menanyakan kesehatan, keluarga, masing-masing..
klik image bukunya sebagai referensi buku2 pilihan
Mungkin sudut pandang kita dalam melihat permasalahan berbeda, tapi perbedaan itu bukan masalah, hanya bagaimana kita menyikapi perbedaan itu yang menjadi masalah.
Blog ini boleh disikapi berbeda oleh siapapun termasuk anda, boleh tidak setuju, marah, kesal, mencaci-maki apalagi menyetujui pendapatku.
Jadi mari kita dewasa menyikapinya...!
bukan simbol negara atau milik satu harokah saja. ia adalah panji islam....!!!
Posting Komentar