Rabu, 23 Juli 2008

HIPOKRITNYA AMERIKA

Fenomena ini sesungguhnya hanya memperjelas betapa agama (Kristen-Protestan) sekarang sangat penting di dalam kehidupan mayoritas masyarakat Amerika Serikat. Amerika bukanlah seperti digambarkan kaum kapitalisme-liberal melalui film-film Hollywood: serba permisif alias serba bebas, dan agama menjadi urusan nomor delapan belas.

Survei terbaru oleh Pew Forum on Religion, lembaga riset ternama di Washington, yang diumumkan 23 Juni 2008, menunjukkan 92% responden percaya pada Tuhan. Mayoritas responden percaya malaikat dan setan aktif di dunia ini. Dan sekitar 80% responden berpendapat bahwa keajaiban memang terjadi di dalam kehidupan.

Survei ini ditujukan untuk mencari tahu secara mendalam bagaimana pandangan orang Amerika terhadap agama. Respondennya berjumlah 36.000 orang dewasa tersebar di seluruh Amerika. Pengumpulan pendapat dilakukan dengan interviu tatap muka. Kesimpulannya jelas: orang Amerika memang agamis, amat mempercayai agama.

Itu bukan fenomena baru. Profesor Samuel Huntington dari Harvard University dalam bukunya Who are we? America's Great Debate (The Free Press, 2005), menyebutkan bahwa sejak 25 tahun terakhir abad 20, gerakan sekulerisme mengalami penurunan.

Di saat bersamaan terjadi kebangkitan agama hampir di seluruh dunia, kecuali Eropa Barat. Itu terjadi di Amerika Latin, Rusia, Turki, India, berbagai negara Timur Tengah dan Asia lainnya. Itu juga terjadi di Amerika Serikat.

Di Amerika, menurut Huntington, terjadi pertumbuhan cepat dan signifikan Kristen Evangelical, aliran Protestan yang konservatif. Sementara pengikut Kristen arus utama yang lebih liberal semacam Presbyterian atau United Church of Christ, menjadi anjlok. Terjadi eksodus.

Selain itu, banyak orang Amerika konsern pada kemerosotan nilai-nilai, moral, dan standar, di dalam masyarakat. Merebaknya penggunaan Narkoba, penyakit AIDS, perselingkuhan, wanita melahirkan tanpa ayah (single-parent), abortus, meningkatnya kriminalitas, ketamakan mengejar harta, dan sebagainya. Lalu muncul kebutuhan personal untuk mempercayai dan memiliki sesuatu yang tak bisa dipenuhi atau dipuaskan oleh ideologi dan institusi sekuler.

Perubahan besar itu pun terjadi. Menjadi atheis, misalnya, sekarang sesuatu yang asing bagi orang Amerika. Ada survei menunjukkan, kaum atheis lebih tak disukai dibanding kaum homo atau menjadi Muslim. Artinya, orang semacam Christopher Hitchens, penulis atheis asal Inggris yang anti-agama dan anti-Tuhan itu – bukunya terakhir God isnot Great -- bukanlah favorit Amerika.

Dulu di tahun 1960-an, Presiden J.F.Kennedy terkenal dengan ucapannya: pandangan seorang Presiden tentang agama adalah urusan privat (A President whose views on religion are his own private affairs). Sekarang tak begitu. Siapa ahli filsafat politik yang dikagumi Presiden Bush? ''Jesus. Sebab Ia mengubah hatiku,'' kata Bush di sebuah acara TV yang dipancarkan ke seluruh negeri.

Kevin Phillips, bekas ahli strategi Partai Republik, memperkuat tesis Huntington. Ia malah menyebut pemerintahan Presiden Bush mengarah pada pemerintahan agama dan Partai Republik adalah partai Kristen pertama dalam sejarah Amerika (lihat American Theocracy, Penguin Books, 2006).

Bush dulu suka minuman keras. Ia berubah (convert) setelah bertemu seorang Pendeta. Kini dia seorang Kristen Evangelical yang taat. Maka setelah terjadi serangan terror yang merubuhkan Menara Kembar WTC dan Gedung Pentagon, 11 September 2001, Presiden Bush memproklamirkan perang melawan teror (war on terror).

Katanya, itulah perang untuk memburu teroris sampai ke mana pun, dan sampai kapan pun, sehingga mereka betul-betul dikalahkan. Dan Presiden Bush menyebut perang itu sebagai crusade alias Perang Salib. Yaitu perang antara tentara Kristen melawan Islam, 1000 tahun lalu, guna memperebutkan Jerusalem. Bush rupanya merasa sebagai pemimpin tentara Salib.

Kenyataannya itu memang dilakukannya: memerangi Islam. Afghanistan dihancurkan. Iraq, negeri Muslim yang lain, yang sama sekali tak ada hubungan dengan terorisme, juga dihancurkan. Sekarang sudah lebih 1 juta penduduknya meninggal dunia. Lebih 4 juta menjadi pengungsi, termasuk ke negeri tetangga, Jordania dan Suriah.

Amerika menggunakan cara kuno kolonialisme: adu domba. Penduduk Sunni dan Shiah di Iraq yang sebelumnya bisa hidup tentram, diadu domba sehingga saling membunuh. Setelah itu, orang Shiah diadu dengan Shiah yang lain, Sunni diadu dengan Sunni.

Di Lebanon juga begitu. Hizbullah yang Shiah diadunya dengan kelompok Sunni. Di Palestina, kelompok Fatah diadu dengan Hamas. Arab Saudi dan negeri lainnya di Teluk yang kaya minyak ditakut-takuti dengan isu senjata nuklir Iran.

Campur tangan dalam bentuk dukungan konkret Kedutaan Besar Amerika Serikat kepada kelompok Ahmadiyah dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), ketika kelompok penghujat Islam dan kelompok liberalis itu bentrok dengan kelompok Front Pembela Islam (FPI) di Monumen Nasional, 1 Juni yang lalu, jelas dalam rangka war on terror. Yaitu untuk mengadu domba umat Islam – kelompok FPI dengan kelompok NU pendukung Gus Dur. Selain bermaksud untuk mengeliminasi kelompok FPI yang sangat anti-Amerika.

Berbagai indikator menunjukkan upaya itu gagal. Kelompok NU tak jadi bentrok dengan kelompok FPI, berkat PB NU yang dipimpin K.H.Hasyim Muzadi, cepat turun tangan. Soalnya PB NU juga secara resmi berpendapat Ahmadiyah adalah aliran sesat.

Kelompok FPI juga tak bisa dieliminasi. Terbukti demontrasi besar-besaran pecah mendukung FPI di Jakarta dan kota lain sampai Pemerintah SBY grogi dan buru-buru mengeluarkan SKB Tiga Menteri tentang Ahmadiyah.

Yang merepotkan, kepolisian Indonesia sudah lama mendapat bantuan dana dari Pemerintah Amerika Serikat. Sehingga menjadi tanda tanya besar: apakah sikap berat sebelah polisi dalam kasus Monas berhubungan dengan bantuan dollar? Yang pasti, polisi hanya menangkap kelompok FPI, sementara AKKBB dan Ahmadiyah tak disentuh. Apalagi belakangan ketahuan, pria beratribut AKKBB dan berpistol di Monas itu adalah anggota polisi dan penganut Ahmadiyah.

Pemerintah dan lembaga bantuan dari Amerika Serikat juga banyak memberikan bantuan ke Mahkamah Agung. Sungguh mengerikan kalau dengan bantuan itu, Amerika akan mendikte Mahkamah Agung dalam keputusannya.

Itu juga yang dipersoalkan Muhammad Ali SH, pengacara Muchdi PR, bekas pejabat Badan Intelijen Negara (BIN) yang ditangkap polisi karena dituduh terlibat pembunuhan aktivis HAM Munir. Dalam keterangan pers, 4 Juli yang lalu, pengacara itu memperlihatkan bukti fotocopy surat dari para anggota Kongres Amerika Serikat yang meminta Presiden SBY untuk menindak anggota BIN.

Surat kepada Presiden itu sampai dua kali, yaitu tahun 2005 lalu diulang pada 2006. Belum jelas tekanan kepada SBY yang disampaikan melalui telepon atau pertemuan langsung. Tapi karena surat itulah Muchdi ditangkap dan diperiksa polisi. ‘’Penangkapan itu politis, bukan karena alasan hukum,’’ kata Muhammad Ali. Yang jelas, Muchdi yang bekas Komandan Jenderal Kopassus itu, setelah pensiun menjadi Ketua Tapak Suci, organisasi pencak-silat Muhammadiyah. Muchdi memang berasal dari keluarga Muhammadiyah Yogyakarta.

Kasus ini memperjelas betapa dominannya pengaruh Amerika Serikat atas Indonesia. Indonesia adalah negara besar, penduduknya banyak, alamnya kaya, tapi seakan hanya protektorat Amerika Serikat. Sampai anggota Kongresnya pun bisa menekan Presiden SBY dengan dalih hak asasi manusia.

Mestinya, kalau betul Presiden SBY menjalankan politik luar negeri bebas aktif, Kongres Amerika itu harus diberitahu bahwa tangan mereka berlumuran darah orang Iraq. Karena persetujuan merekalah Presiden Bush bisa menyerbu Iraq. Karena persetujuan mereka pula sampai sekarang penjara Guantanamo masih kukuh berdiri. Anggota Kongres kayak begitu kok mau bicara HAM, apalagi menekan seorang Presiden negara berdaulat. Kenyataannya itu terjadi.

Sekadar untuk diketahui sponsor surat Kongres Amerika Serikat itu adalah Tom Lantos, anggota DPR (House of representative) dari Partai Demokrat, yang meninggal dunia Februari lalu, dalam usia 80 tahun. Ia dari Partai Demokrat tapi dia adalah pendukung utama Perang Irak dan pendukung setia penjara Guantanamo. Soalnya, Tom Lantos adalah seorang Yahudi fanatik. Dia dilahirkan di Budapest, Hungary, dari keluarga Yahudi, kemudian merantau ke Amerika Serikat.

Oktober lalu, Lantos mendamprat sejumlah anggota Parlemen Belanda yang baru mengunjungi Guantanamo. ‘’Kalau bukan karena Amerika Serikat, Belanda sampai sekarang adalah provinsi dari Nazi Jerman,’’ kata Lantos kepada anggota Parlemen Belanda yang kritis terhadap Guantanamo ketika menemuinya di Washington.

‘’Pernyataan seperti itu mematikan perdebatan, itu menyakitkan dan tak produktif,’’ kata Harry van Boumel, salah seorang anggota Parlemen Belanda (International Herald Tribune, 27 Oktober 2007).

Sponsor yang lain adalah Mark Steven Kirk, 49 tahun, anggota DPR mewakili Partai Republik. Steven Kirk seorang yang cerdas tapi sangat konservatif. Dia pendukung setia Perang Iraq dan juga anti-imigran Meksiko. Bulan lalu ia bikin heboh ketika dalam wawancara radio dia bilang setuju polisi menembak di tempat Obama. Setelah heboh, ia seenaknya meralat ucapannya dengan mengatakan yang ia maksudkan adalah Osama bukan Obama, Capres Partai Demokrat itu.

Musuh-musuh Obama memang suka memplesetkan namanya dengan Osama bin Ladin yang cuma beda huruf b dengan s. Soalnya, sampai sekarang di bawah permukaan masih beredar isu bahwa Obama adalah seorang Muslim tersembunyi.

Isu bahwa ia belajar di madrasah di Jakarta yang dipimpin seorang kiai ekstrim, walau sudah diralat, tetap dipercaya sebagian masyarakat. Apalagi Obama sulit membantah bahwa ayahnya serta leluhurnya dari garis ayah memang keluarga Muslim.

Tapi sukseskah Perang Salib Presiden Bush? Ternyata tidak. Sudah banyak artikel dan buku ditulis untuk menceritakan kegagalan Pemerintah Amerika Serikat dalam perang melawan teror. Yang terakhir, Maret lalu, Kolumnis Fred Kaplan menulis Daydream Believers – How a Few Grand Ideas Wrecked American Power (John Wiley & Sons Inc., 2008).

Buku ini membahas dengan sangat jelas bagaimana kegagalan demi kegagalan itu terjadi. Tentara Amerika Serikat terjerat di Iraq, perlawanan Taliban meningkat di Afghanistan – tahun ini terbanyak tentara Amerika tewas di Afghanistan -- dan meningkatnya permusuhan di seluruh dunia terhadap Amerika Serikat, termasuk rakyat Eropa Barat.

Semua diceritakan. Bagaimana hubungan semangat moral dan agama Presiden Bush dengan kebijakan luar negerinya yang ekspansionis. Bagaimana kebijakan baru Pemerintah terbentuk dari semangat menggebu-gebu pelaku Perang Salib itu dan nasionalisme.

Maka kesalahan demi kesalahan dilakukan Pemerintahan Bush. Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld muncul dengan konsep pasukan kecil tapi dengan peralatan sangat canggih untuk menyerang Iraq. Nyatanya jumlah pasukan yang kecil itu memang mampu mengalahkan Iraq, tapi tak mampu menjaga keamanannya, apalagi menegakkan hukum dan ketertiban.

Bekas tentara Iraq yang berjumlah ratusan ribu diberhentikan dan dibiarkan menjadi penganggur di jalan-jalan. Ternyata mereka kelak menjadi tentara perlawanan yang merepotkan dan menewaskan banyak serdadu Amerika. Apalagi Garda Republik, pasukan elit Iraq yang terlatih itu.

Fred Kaplan, doktor ilmu politik dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), menyimpulkan kegagalan demi kegagalan terjadi karena keputusan diambil bukan dengan pertimbangan teknologi, sejarah, atau kebudayaan, tapi lebih pada khayalan, agama (Kristen), dan masa bodoh dengan segala konsekuensi yang ditimbulkannya.

Harap dicatat selain penganut Kristen Evangelical, Bush dikelilingi dan akrab dengan para tokoh dan pendeta Evangelical seperti Jerry Palwell (meninggal tahun lalu), Pat Robertson, James Dobson, dan Franklin Graham, putra pendeta senior Billy Graham. Setelah peristiwa 11 September, Jerry Palwell berteriak-teriak melalui televisi kabel agar tentara Amerika segera membalas mengebom Mekah.

Patrick J.Buchanan, intelektual konservatif senior mengamati Presiden Bush, dan menyimpulkan bahwa setelah 11 September 2001, Presiden mengalami perubahan perilaku yang amat besar. Ia menamakan musuhnya dengan terminologi agama. Ia sebut musuhnya – kaum teroris – adalah penjahat yang penuh dosa (evildoer), yang tak punya negara, tak punya ideologi, motivasinya adalah kebencian.

Seperti ditulis Buchanan – ia pernah dua kali mencalonkan diri sebagai Presiden -- di dalam Day of Reckoning, Bush mendefinisikan perangnya sebagai antara yang baik (good) melawan jahat (evil). Itu bukanlah definisi yang biasa. Clausewitz, misalnya, mengatakan perang sebagai perluasan langkah politik dengan pengertian yang lain.

Image‘’Untuk Bush perang ini semacam Perang Salib, dan ia sendiri sebagai agen kebenaran itu,’’ tulis Buchanan (lihat Day of Reckoning, Thomas Dunne Books, 2007, hal. 74). Jadi, istilah crusade yang digunakan Bush ketika memproklamasikan war on terror adalah dalam pengertian Perang Salib yang sesungguhnya. Itu bukan karena keseleo lidah.

Tindakan konyol Bush itu amat mahal harganya untuk rakyat Iraq, juga rakyat Amerika. Kini sudah lebih 4100 tentara Amerika tewas, 27.000-an lainnya terluka, termasuk ribuan harus dirawat seumur hidup karena trauma atau cacat permanen. Biaya yang dihabiskan Pemerintah Bush sudah mendekati 1 triliun dollar.

Pemenang Nobel Ekonomi 2001, Profesor Joseph Stiglitz dari Columbia University, memperhitungkan Amerika bakal menghabiskan 3 triliun dollar untuk perang itu. Stiglitz bersama Linda Bilmes dari Harvard University, kemudian menuliskan hitungan-hitungan itu di dalam buku The Three Trillion Dollar War (Penguin Books, 2008), yang beredar tiga bulan lalu. Krisis yang melanda ekonomi Amerika Serikat sekarang, sedikit banyak disebabkan juga oleh perang ini, termasuk melonjaknya harga minyak dunia.

Petualangan Bush menyebabkan Partai Republik ketiban sial. DPR dan Senat yang selama ini mereka kuasai, berpindah ke tangan Partai Demokrat. Yang juga kejipratan sial adalah para tokoh Kristen Evangelical yang selama dua kali pemilihan Presiden terakhir, menjadi pendukung utama Presiden George W. Bush. Dalam pemilihan Presiden sekarang mereka tampak kebingungan dengan suara yang terpecah.

Sebagai kelompok konservatif mestinya mereka mendukung calon Partai Republik, John McCain. Tapi McCain mengecewakan karena sikapnya tak jelas dalam isu-isu yang menjadi konsern mereka seperti larangan abortus, perkawinan sejenis, atau riset sel tunas (stem-cell research). Pendukung Kristen Evangelical diduga hampir 30% dari pemilih Amerika, karenanya dukungan mereka cukup menentukan.

Maka kedua calon Presiden, John McCain dari Partai Republik dan Barack Obama dari Partai Demokrat tampak lebih sibuk dengan urusan agama dan pendeta masing-masing.

Obama terpaksa meninggalkan gerejanya, Trinity United Church of Christ, karena pendetanya, Jeremiah Wright, merepotkannya. Pernyataan-pernyataan pendeta berkulit hitam itu, dianggap tak patriot. Misalnya, tentang terorisme 11 September, pendeta Wright bilang, ‘’Teroris menyerang ke sini karena kita lebih dulu ke sana’’. Ia berulangkali menyampaikan sumpah-serapah tentang perlakuan rasis terhadap orang kulit hitam di Amerika. Maka kutukan Tuhan pun datang menimpa Amerika.

McCain sama saja. Dua Pendeta Evangelical-nya, John Hagee dari Texas, dan Rod Parsley dari Ohio, merepotkan. John Hagee sering menyampaikan ceramah yang dianggap anti-Katolik dan anti-Yahudi, sedang Parsley sangat anti-Islam. Dia berkali-kali berceramah menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW. Belakangan McCain memutus hubungan dengan kedua pendeta itu.

Ternyata ia dapat pendeta Evangelical paling top. Hari Minggu, 29 Juni lalu, John McCain mengunjungi Pendeta Billy Graham, 89 tahun, dan anaknya Franklin Graham, di rumah peristirahatan mereka di kawasan pegunungan di sebelah barat North Carolina.

Billy Graham memang sudah uzur dan sakit-sakitan. Tapi Franklin terhitung tokoh penting Evangelical. Dia sekarang Ketua Asosiasi Evangelistik yang didirikan ayahnya di tahun 1950. Seusai pertemuan Franklin Graham menyatakan kepada wartawan bahwa ia mendoakan McCain, Senator Arizona itu. Ya, semacam doa politiklah, mirip di sini.

Berbagai jajak pendapat menunjukkan Obama berada di atas McCain. Selain memang usianya sudah di atas 70 tahun, McCain hampir kalah segalanya. Dalam pembicaraan terbuka berkali-kali ia tak bisa membedakan Islam Shiah dengan Islam Sunni. Lebih parah lagi, suatu kali ia bilang Vladimir Putin (kini Perdana Menteri Rusia) adalah pemimpin Jerman.

Yang diandalkannya, sebagai penerbang Angkatan Laut, dulu ia pernah tertembak jatuh dan ditahan lima setengah tahun di Vietnam. Kemudian, kelemahan Obama -- leluhurnya Muslim dan berkulit hitam -- tentu menguntungkannya.

Maka Obama sebagai seorang calon yang lebih liberal, berusaha terlihat lebih Kristen. Contoh: ia sudah mengumumkan akan memperluas program Presiden Bush soal bantuan sosial-kemasyarakatan dari Gedung Putih melalui kelompok agama.

Artinya: lembaga agama dilibatkan dalam program Pemerintah memberantas kemiskinan. Di Indonesia saja, agama tak pernah dilibatkan Pemerintah sejauh itu, sudah bikin ribut kelompok liberal. Tapi itulah Amerika sekarang.



Posting Komentar