Rabu, 03 Juni 2009

KALAU MAU APES SILAHKAN...


" SEKALI-KALI TIDAK AKAN BERUNTUNG SUATU KAUM YANG MENYERAHKAN URUSANNYA KEPADA SEORANG WANITA."

Diriwayatkan oleh imam Bukhari dari hadits Abdurahman bin Abu Bakrah dari ayahnya, demikian juga kedudukan peradilan dan lain-lain.." [Tafsiru al Qur'an al 'Adzim 1/435].


PENDAPAT PARA ULAMA SALAF
Imam Al Khithabi berkata," Dalam hadits tersebut [disebutkan] seorang wanita tidak boleh memegang kepemimpinan dan peradilan. Juga disebutkan seorang wanita tidak menikahkan dirinya sendiri atau menjadi wali dari akad nikah perempuan lain." [Fathul Bari 8/162]..

Imam Al-Qurtuby berkata," Mereka (para ulama`) telah bersepakat seorang perempuan tidak boleh menjadi imam [penguasa], sekalipun mereka masih berbeda pendapat mengenai kebolehan seorang perempuan menjadi hakim dalam hal-hal yang kesaksian seorang wanita diterima didalamnya." [Tafsir Al Qurthubi 1/270].

Imam Ibnu Hazm berkata," Tak seorangpun dari seluruh kelompok ahlu kiblat [umat Islam] membolehkan kepemimpinan seorang wanita." [Al Imamatu Al 'Udzma hal. 246].

Imam al-Baghowi berkata," Mereka bersepakat bahwa seorang perempuan tidak bisa menjadi imam dan hakim karena seorang imam harus keluar untuk menegakkan urusan jihad dan mengurusi urusan kaum muslimin, sedang seorang hakim harus tampil untuk menyelesaikan perselisihan padahal seorang perempuan itu aurot tidak boleh tampil dan dia itu lemah untuk mengurusi sebagian besar pekerjaan. Juga karena perempuan itu kurang [tidak sempurna] padahal kepemimpinan dan peradilan merupakan perwalian yang paling sempurna sehingga tidak pantas dipegang kecuali oleh laki-laki yang sempurna." [Syarhu Sunah 10/77].



FATWA ULAMA' KONTEMPORER

1. Syaikh Said Hawa berkata:
" Disyaratkan bagi seorang imam atau kholifah haruslah seorang laki-laki karena tabiat seorang perempuan tidak sesuai untuk memimpin negara dan menanggung tugas-tugas sebagai kepala negara berupa tugas-tugas yang melelahkan, pekerjaan yang terus menerus, memimpin tentara dan mengatur semua urusan." [Al Islam hal. 380].

2. Dr. Abdullah ad Dumaiji berkata :
" Dalam Al Qur'an banyak terdapat ayat yang menunjukkan laki-laki didahulukan atas perempuan, seperti firman Allah :

"KAUM LAKI-LAKI (SUAMI) ITU MENJADI PEMIMPIN ATAS KAUM WANITA (ISTRI) ATAS APA YANG ALLAH LEBIHKAN SEBAGIAN MEREKA (SUAMI) ATAS SEBAGIAN YANG LAIN (ISTRI) DAN ATAS APA YANG HARTA YANG MEREKA NAFKAHKAN." [QS. AN NISA' :34]

Nabi juga memberitahukan perempuan itu mempunyai dua kekurangan : akal dan dien, padahal kepimpinan memerlukan kesempurnaan fikiran, akal dan kecerdasan. Karena itu tidak diterima kesaksian wanita kecuali kalau bersamaan dengan seorang laki-laki. Allah telah mengingatkan kesesatan dan kealpaan mereka dengan firman-Nya :

" Dan tetaplah kalian di rumah-rumah kalian." [QS. AL Ahzab :33] dan ayat-ayat lain." [Al Imamatu al Udzma hal. 244-245].

" SEKALI-KALI TIDAK AKAN BERUNTUNG SUATU KAUM YANG MENYERAHKAN URUSANNYA KEPADA SEORANG WANITA."
Diriwayatkan oleh imam Bukhari dari hadits Abdurahman bin Abu Bakrah dari ayahnya.

Juga karena hakim itu dihadiri oleh majlis-majlis orang yang bersengketa dan laki-laki, dan untuk hal itu dibutuhkan kesempurnaan pendapat, akal dan kecerdasan. Padahal wanita kurang akalnya, sedikit pendapatnya dan tidak boleh menghadiri majlis-majlis laki-laki dan kesaksiannya tidak diterima sekalipun bersamanya ada seribu wanita sepertinya selama tidak ada kesaksian laki-laki. Allah telah mengingatkan kesesatan dan kealpaan mereka dengan firman-Nya :

" (agar) Jika salah satu dari mereka lupa maka yang lain mengingatkan yang lupa." [QS. Al Baqarah : 282].

Karena itu wanita tidak boleh memegang imamah udzma , tidak pula menjadi wali (gubernur) beberapa daerah. Karena itu Rasulullah, salah satu khalifahnya (khulafaur rasyidun) dan orang sesudah mereka tidak pernah mengangkat wanita sebagai hakim, tidak pula menjadi gubernur sebuah daerah, menurut riwayat yang telah sampai kepada kami. Kalau memang boleh, tentulah secara umum seluruh zaman tidak pernah kosong dari hal itu." [Al Mughni 14/12-13].

PENUTUP
Bagi seorang muslim, yang harus diikutinya adalah Al Qur'an, As Sunah dan ijma' salaful ummah. Mereka tidak akan melawan ketiga sumber hukum Islam ini dengan perkataan siapapun. Sebagaimana ditegaskan imam Al Mawardi tadi, pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ibnu Jarir ath Thabari tertolak, karena bertentangan dengan nash dan ijma'. Dalam hal ini, nash-nash yang menjadi dalil larangan wanita menjadi pemimpin merupakan nash yang muhkamat, tegas dan jelas tanpa ta'wilan. Beliau tidak mengingkari kebesaran, keilmuan dan jasa besar kedua imam ini, namun kebenaran lebih berhak untuk diikuti. Dari sini kita semakin menyadari, yang ma'shum hanyalah Al Qur'an, As Sunah dan ijma' salaful ummah. Selain itu bisa salah bisa benar, bila benar bisa diikuti dan bila salah kita tidak boleh mengikutinya.

Karena itu, kita tak perlu bingung dengan sebagian tokoh umat Islam yang membolehkan wanita untuk menjadi kepala negara dan turut serta dalam pemilu, politik dan MPR/DPR dengan alasan Islam memberikan persamaan hak kepada mereka sejajar dengan kaum laki-laki.

Bila kita mengikuti sumber hukum Islam tadi kita sudah berada di atas rel yang lurus dan benar. Kita juga bisa memahami sebenarnya para " tokoh " kita sudah tak memandang persoalan ini berdasar kaca mata Islam. Mereka sudah terkontaminasi dengan pemikiran-pemikiran sekuler di luar Islam.

Dalil bisa saja dipelintir, hanya cocok untuk zaman dahulu, tokoh anu membolehkannya, dalil-dalilnya lemah, memasung hak wanita, diskriminatif, kondisi darurat dan seribu satu alasan lainnya. Yang jelas, seorang muslim yang baik tidak akan mempermainkan ayat-ayat Allah dan sunah-sunah Rasulullah.

Menta'wil ayat-ayat mutasyabihat untuk disesuaikan dengan kepentingannya saja sudah dicap Allah dengan " dalam hatinya ada kesesatan " [QS. Ali Imran :7], apalagi yang mencoba mengotak-atik nash-nash yang muhkamat. Wallahu A'lam bish shawab.

Posting Komentar