Rabu, 05 November 2008

JERITAN PERAWAN TUA & SOLUSINYA


Fenomena bertambahnya jumlah wanita yang terlambat menikah (perawan tua) menjadi satu perkara yang menakutkan saat ini, mengancam kebanyakan perempuan di masyarakat yang Islami, bahkan di seluruh dunia.


Berikut ini marilah kita mendengarkan salah satu jeritan mereka :

"Suatu majalah, menuliskan jeritan seorang perawan tua dari Madinah Munawaroh,"


Semula saya sangat bimbang sebelum menulis untuk kalian karena ketakutan terhadap kaum wanita karena saya tahu bahwasanya mereka akan mengatakan bahwa aku ini sudah gila, atau kesurupan.

Akan tetapi, realita yang aku alami dan dialami pula oleh sejumlah besar perawan-perawan tua, yang tidak seorang pun mengetahuinya, membuatku memberanikan diri. Saya akan menuliskan kisahku ini dengan ringkas.

Ketika umurku mulai mendekati 20 tahun, saya seperti gadis lainnya memimpikan seorang pemuda yang multazim dan berakhlak mulia. Dahulu saya membangun pemikiran serta harapan-harapan; bagaimana kami hidup nanti dan bagaimana kami mendidik anak-anak kami... dan.. dan...

Saya adalah salah seorang yang sangat memerangi ta'adud (poligami).

Hanya semata mendengar orang berkata kepadaku, "Fulan menikah lagi yang kedua", tanpa sadar saya mendoakan agar ia celaka. Saya berkata, "Kalau saya adalah istrinya -yang pertama- pastilah saya akan mencampakkannya, sebagaimana ia telah mencampakkanku'. Saya sering berdiskusi dengan saudaraku dan terkadang dengan pamanku mengenai masalah ta'addud. Mereka berusaha agar saya mau menerima ta'addud, sementara saya tetap keras kepala tidak mau menerima syari'at ta'addud.

Saya katakan kepada mereka, 'Mustahil wanita lain akan bersama denganku mendampingi suamiku".

Terkadang saya menjadi penyebab munculnya problema-problema antara suami-istri karena ia ingin memadu istri pertamanya; saya menghasutnya sehingga ia melawan kepada suaminya.

Begitulah, hari terus berlalu sedangkan aku masih menanti pemuda impianku. Saya menanti... akan tetapi ia belum juga datang dan saya masih terus menanti. Hampir 30 tahun umurku dalam penantian. Telah lewat 30 tahun... oh Illahi, apa yang harus kuperbuat? Apakah saya harus keluar untuk mencari pengantin laki-laki? Saya tidak sanggup,orang-orang akan berkata wanita ini tidak punya malu. Jadi, apa yang akan saya kerjakan? Tidak ada yang bisa saya perbuat, selain dari menunggu.

Pada suatu hari ketika saya sedang duduk-duduk, saya mendengar salah seorang dari wanita berkata, 'Fulanah jadi perawan tua". Aku berkata kepada diriku sendiri, "Kasihan Fulanah jadi perawan tua", akan tetapi... fulanah yang dimaksud itu ternyata aku. Ya Illahi!

Sesungguhnya itu adalah namaku... saya telah menjadi perawan tua.

Bagaimanapun saya melukiskannya kepada kalian, kalian tidak akan bisa merasakannya. Saya dihadapkan pada sebuah kenyataan sebagai perawan tua.

Saya mulai mengulang kembali perhitungan-perhitunganku, apa yang saya kerjakan?

Waktu terus berlalu, hari silih berganti, dan saya ingin menjerit. Saya ingin seorang suami, seorang laki-laki tempat saya bernaung di bawah naungannya, membantuku menyelesaikan problema-problemaku... Saudaraku yang laki-laki memang tidak melalaikanku sedikit pun, tetapi dia bukan seperti seorang suami. Saya ingin hidup; ingin melahirkan, dan menikmati kehidupan.

Akan tetapi, saya tidak sanggup mengucapkan perkataan ini kepada kaum laki-laki. Mereka akan mengatakan, "Wanita ini tidak malu".

Tidak ada yang bisa saya lakukan selain daripada diam. Saya tertawa...akan tetapi bukan dari hatiku. Apakah kalian ingin saya tertawa, sedangkan tanganku menggenggam bara api? Saya tidak sanggup...

Suatu hari, saudaraku yang paling besar mendatangiku dan berkata, "Hari ini telah datang calon pengantin, tapi saya menolaknya..." Tanpa terasa saya berkata, "Kenapa kamu lakukan? Itu tidak boleh!" Ia berkata kepadaku, "Dikarenakan ia menginginkanmu sebagai istri kedua, dan saya tahu kalau kamu sangat memerangi ta'addud (poligami)". Hampir saja saya berteriak di hadapannya, "Kenapa kamu tidak menyetujuinya?" Saya rela menjadi istri kedua, atau ketiga, atau keempat... Kedua tanganku di dalam api. Saya setuju, ya saya yang dulu memerangi ta'addud, sekarang menerimanya. Saudaraku berkata, "Sudah terlambat"

Sekarang saya mengetahui hikmah dalam ta'addud. Satu hikmah ini telah membuatku menerima, bagaimana dengan hikmah-hikmah yang lain? Ya ALLAH,ampunilah dosaku. Sesungguhnya saya dahulu tidak mengetahui. Kata-kataini saya tujukan untuk kaum laki-laki, "Berta'addud-lah, nikahilah satu,dua, tiga, atau empat dengan syarat mampu dan adil. Saya ingatkan kaliandengan firman-Nya, "... Maka nikahilah olehmu apa yang baik bagimu dariwanita, dua, atau tiga, atau empat, maka jika kalian takut tidak mampuberlaku adil, maka satu..." Selamatkanlah kami. Kami adalah manusiaseperti kalian, merasakan juga kepedihan. Tutupilah kami, kasihanilah kami."

Dan kata-kata berikut saya tujukan kepada saudariku muslimah yang telahbersuami, "Syukurilah nikmat ini karena kamu tidak merasakan panasnya api menjadi perawan tua.

Saya harap kamu tidak marah apabila suamimu ingin menikah lagi dengan wanita lain. Janganlah kamu mencegahnya, akan tetapi doronglah ia. Saya tahu bahwa ini sangat berat atasmu. Akan tetapi, harapkanlah pahala di sisi Allah.

Lihatlah keadaan suadarimu yang menjadi perawan tua, wanita yang dicerai, dan janda yang ditinggal mati; siapa yang akan mengayomi mereka? Anggaplah ia saudarimu, kamu pasti akan mendapatkan pahala yang sangat besar dengan kesabaranmu"

Engkau mungkin mengatakan kepadaku, "Akan datang seorang bujangan yang akan menikahinya". Saya katakan kepadamu, "Lihatlah sensus penduduk. Sesungguhnya jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki. Jika setiap laki-laki menikah dengan satu wanita, niscaya banyak dari wanita-wanita kita yang menjadi perawan tua. Jangan hanya memikirkan diri sendiri saja. Akan tetapi, pikirkan juga saudarimu. Anggaplah dirimu berada dalam posisinya".

Engkau mungkin juga mengatakan, "Semua itu tidak penting bagiku, yang penting suamiku tidak menikah lagi." Saya katakan kepadamu, "Tangan yang berada di air tidak seperti tangan yang berada di bara api. Ini mungkin terjadi. Jika suamimu menikah lagi dengan wanita lain, ketahuilah bahwasanya dunia ini adalah fana, akhiratlah yang kekal. Janganlah kamu egois, dan janganlah kamu halangi saudarimu dari nikmat ini.

Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri".

Demi ALlah, kalau kamu merasakan api menjadi perawan tua, kemudian kamu menikah, kamu pasti akan berkata kepada suamimu "Menikahlah dengan saudariku dan jagalah ia". Ya ALlah, sesungguhnya kami memohon kepadamu kemuliaan, kesucian, dan suami yang shalih"

Antara Agresif, Pasrah Dan Proaktif

Jodoh adalah rahasia Allah swt, yang kadang tak terduga datangnya. Dalam masa 'penantian' yang tak kunjung datang, seorang akhwat dapat memilih untuk bertindak yang sesuai dengan keinginannya. Ada tiga bentuk sikap yang bisa dilakukan oleh para muslimah dalam masa penantian ini, yakni; agresif, pasrah dan proaktif.

Karena terlalu cemas, ada sebagian yang memilih untuk bersikap agresif. Melakukan pendekatan kepada siapapun yang dianggap potensial untuk menjadi pasangan hidup dengan berbagai cara. Kadang tanpa perduli norma dan aturan agama. Sikap ini ini bisa 'membahayakan' bagi seorang perempuan. Karena ketergesa-gesaannya bisa berakibat tidak baik. Misalnya saja dia tidak akan selektif dalam memilih siapa calon suaminya.

Kriteria-kriteria suami idaman pun kabur tertiup oleh desakan-desakan keluarganya. Akibat yang paling buruk dari sikap ini adalah timbul penyesalan dikemudian hari. Tumbuhnya kekecewaan pada pasangan karena tidak terlalu mengenal karakternya yang berujung pada perceraian. Naudzubillah min dzalik !

Sikap kedua adalah sikap pasrah, sikap ini biasanya memiliki alasan, " ya.daripada jadi perawan tua, lebih baik saya terima." Ada mungkin sebagian akhwat yang berfikir demikian, atau akan berfikir demikian. Biasanya ia tidak kuat menahan desakan orang tua atau keluarganya. Karena orang tua tidak ingin melihat anaknya menjadi perawan tua, maka ia mencarikan jodoh buat anaknya. Seandainya orang tua memahami betul criteria-kriteria seorang suami yang sholeh, maka hal ini tentunya baik bagi si gadis, akan tetapi akan menjadi permasalahan yang serius ketika orang tuanya asal mencarikan laki-laki yang menjadi calon pasangan anaknya.

Kebanyakan orang tua sekarang pertimbangannya sangat pragmatis. Dia mencari jodoh buat anaknya dengan hanya menggunakan pertimbangan materi. Sehingga laki-laki yang dianggap berkecukupan, memiliki pekerjaan tetap maka dia layak jadi menantunya. Pertimbangan agama sama sekali dikesampingkan.

Dalam hal inilah sang akhwat dalam posisi dilematis. Untuk menolak jelas tidak mungkin, karena dia tidak punya alternative. Untuk menerima terasa berat, karena laki-laki yang dibawa orang tuanya sangat jauh dari criteria suami idamannya. Akhirnya dengan berat hati ia menerima laki-laki itu sebagai suaminya.

Pilihan yang paling cocok saat 'penantian' bagi akhwat adalah sikap proaktif. Bersikap proaktif bukan berarti pasrah tanpa usaha sama sekali, namun bukan pula bertindak tanpa perhitungan dan pertimbangan. Sikap proaktif ituberarti berdoa sekaligus melakukan upaya yang dibenarkan agama untuk merealisasikan doa tersebut.

Ada sebagian akhwat yang berpendapat, " kalau memang jodoh merupakan bagian dari takdir Allah, mengapa kita harus mengejarnya? Bila sudah takdir pasti akan datang sendiri?" saya kira ini lah kekeliruan logika sebagian manusia. Allah telah menetapkan takdir bagi kita para hambaNya. Yang mengetahui takdir hanya Allah semata, kita tidak tahu bagaimana nasib kita besok. Ketika kita tidak tahu takdir yang akan kita terima, sedang kita diperintah untuk melakukan kebaikan maka kita sebagai mukmin harus memilih jenis perbuatan yang baik.

Kita sebagai manusia dianugerahi akal dan pikiran. Disamping itu kita juga diberi hak ikhtiar (berusaha). Kita juga diberi pedoman berupa Al Qur'an dan As Sunnah, sehingga bisa membedakan kebaikan dan keburukan. Dengan begitu kita justru dituntut untuk berusaha dan beramal.

Syarat utama poligami adalah adil terhadap isteri, baik dalam nafkah lahir batin, atau pun dalam perhatian, kasih sayang, perlindungan serta alokasi waktu. Jangan sampai salah satunya tidak diberi dengan cukup. Apalagi kesemuanya tidak diberi cukup nafkah, maka hal itu adalah kezaliman. Sebagaimana hukum menikah yang dapat memiliki banyak bentuk hukum, maka hal tersebut berlaku juga pada poligami, hukumnya sangat ditentukan oleh kondisi seseorang secara individu, bahkan bukan hanya kondisi dirinya tetapi juga menyangkut kondisi dan perasaan orang lain, dalam hal ini bisa saja isterinya atau keluarga isterinya. Pertimbangan orang lain ini tidak bisa dimentahkan begitu saja dan tentunya hal ini sangat manusiawi sekali.

Ketentuan keadilan sebenarnya pada garis-garis umum saja. Karena bila semua mau ditimbang secara detail pastilah tidak mungkin berlaku adil secara empiris. Karena itu dibuatkan garis-garis besar seperti maslaah pembagian jatah menginap. Menginap di rumah isteri harus adil. Misalnya sehari di isteri tua dan sehari di isteri muda. Yang dihitung adalah malamnya atau menginapnya, bukan hubungan seksualnya. Karena kalau sampai hal yang terlalu mendetail harus dibuat adil juga, akan kesulitan menghitung dan menimbangnya.

Secara fithrah umumnya, kebutuhan seksual laki-laki memang lebih tinggi dari wanita. Dan secara faal, kemampuan seksual laki-laki memang dirancang untuk dapat mendapatkan frekuensi yang lebih besar dari pada wanita. Nafsu birahi setiap orang itu berbeda-beda kebutuhannya dan cara pemenuhannya. Dari sudut pandang laki-laki, masalah `kehausan` nafsu birahi sedikit banyak dipengaruhi kepada kepuasan hubungan seksual dengan isteri. Bila isteri mampu memberikan kepuasan skesual, secara umum kehausan itu bisa terpenuhi dan sebaliknya bila kepuasan itu tidak didapat, maka kehausan itu bisa-bisa tidak terobati.

Akhirnya, menikah lagi sering menjadi alternatif solusi.

Sehingga jauh-jauh hari Islam sudah mengantisipasi kemungkinan terjadinya fenomena ini dengan membuka pintu untuk poligami dan menutup pintu ke arah zina. Dari pada zina yang merusak nilai kemanusiaan dan harga diri manusia, lebih baik kebutuhan itu disalurkan lewat jalur.

Poligami Dalam Realitas Perempuan

Perdebatan seputar masalah poligami tampaknya tidak pernah selesai dan sering menyulut api kemarahan dan sikap prokontra, khususnya dari pihak perempuan, karena secara faktual poligami memang sangat rentan terhadap tindakan sewenang-wenang (aniaya) terhadap mereka. Hampir semua perempuan, terutama yang bergerak di bidang pembelaan hak- hak perempuan, baik LSM-LSM maupun institusi-institusi sosial lainnya, sangat menentang dan menolak praktik poligami.

Menurut mereka, poligami selalu membawa penderitaan dan kesengsaraan bagi kaum perempuan; poligami itu sendiri merupakan manifestasi otoritas dan dominasi kaum laki-laki atas kaum perempuan.

Tidak diragukan lagi, karena poligami berhubungan dengan agama, ada anggapan bahwa agama ikut mendukung dan melegalkan praktik poligami, yang berarti berperan dalam melanggengkan budaya dan sistem patriarki dalam masyarakat - kalau bukan justru mencipta atau membentuknya, tandas beberapa golongan. Bersama ini mari kita meluruskan pemahaman-pemahaman yang keliru di seputar poligami dengan pendekatan teks-teks keagamaan (dalil naqli), dan argumentasi-argumentasi yang logis (dalil ”aqli)

Tidak perlu diungkapkan kekeliruan sebagian kalangan masyarakat yang menganggap poligami sebagai ajaran ataupun warisan Islam. Mereka mengira poligami itu baru dikenal setelah Islam datang dan berkembang.
Ada pula yang secara ekstrem berpendapat bahwa jika bukan karena Islam, poligami tidak dikenal dalam sejarah manusia.

Padahal, ribuan tahun bahkan berabad-abad sebelum Islam datang, poligami sudah dikenal dan dipraktekkan oleh berbagai kalangan masyarakat di segenap penjuru bumi, termasuk bangsa Arab. Pada zaman pra-Islam, orang-orang Hindu, Persia, Arab, Ro- mawi, Cina, Yahudi serta bangsa- bangsa lain sudah mengenal dan mempraktekkan poligami. Ini adalah fakta sejarah yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun

Ketika Islam datang, ia tidak membiarkan kebebasan praktek poligami itu, karena poligami pada saat itu secara jelas bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang mengutamakan keadilan (al-adalah) dan kesetaraan di hadapan Tuhan (al- musawat); tidak pula menghapus adat kebiasaan itu, karena dalam pandangan Islam ada problem-problem masyarakat yang penyelesaiannya bergantung semata- mata pada poligami. Tidak hanya itu, Islam menyempurnakan dan membawa perbaikan pada tata cara berpoligami

Pertama, Islam menetapkan bagi seorang pria yang melakukan poligami untuk berlaku adil terhadap semua istrinya. Perlu dijelaskan di sini bahwa keadilan yang dimaksud bukan ke- adilan dalam yang bersifat batiniah (hati), tetapi keadilan dalam bidang lahiriah (zhahiriah). Ini bisa dipahami dan dibuktikan baik berdasarkan argumentasi logika (dalil 'aqli) maupun berdasarkan teks-teks agama (dalil naqli)

Secara logis dapat diterima bahwa hati (perasaan) itu tidak dikendalikan sepenuhnya oleh pemiliknya, justru ia sering dipengaruhi oleh perasaannya itu. Sedangkan berdasarkan teks agama (dalil naqli) dapat dilihat dalam surah An-Nisa (4): 129: "Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.

Perbaikan kedua yang dilakukan Islam adalah menetapkan batasan atas poligami. Sebelum kedatangan Islam, tidak ada batasan jumlah istri dalam poligami. Seorang pria boleh memperisteri puluhan bahkan ratusan istri. Namun Islam menetapkan batas maksimum jumlahnya menjadi empat orang istri.
Adanya larangan memperturutkan hati bagi (pria) yang berpoligami dan berkelebihan dalam kecenderungan kepada yang dicintainya, setelah peringatan yang sangat tegas bahwa ia tidak ada akan dapat berlaku adil di antara istri- istrinya, mengisyaratkan bahwa keadilan yang dimaksud dalam ayat ini khusus yang menyangkut lahiriah (materi).

Sebab, jika mencakup wilayah batiniah (hati) tentu larangan itu tidak perlu ada dan sia-sia belaka, karena seandainya demikian maka poligami itu dilarang, pada saat itu larangan memperturutkan kecenderungan hati-tidak memiliki obyek larangan. Gaya bahasa Al Quran menunjukkan betapa kuatnya dorongan Allah terhadap pria yang berpoligami agar berupaya sebisa mungkin untuk berlaku adil secara batiniah (perasaan), walaupun sebenarnya ia tidak akan mampu berlaku demikian dengan sempurna.

Justru karena ketidakmampuan berlaku adil secara sempurna itulah motivasi itu diperkuat, agar tidak semakin parah. Karena bagaimanapun sikap suami yang lebih condong kepada salah seorang istri akan menimbulkan kecemburuan pada istri-istri yang lain, yang pada tahap selanjutnya akan berimplikasi buruk terhadap kedamaian dan kebahagiaan keluarganya.

Dalil naqli yang menjadi landasan utama pembenaran kebolehan poligami dan ketentuan batasan dan syaratnya adalah surah An-Nisa (4): 3. Allah berfirman: "Jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian, jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil (dalam hal-hal yang bersifat lahiriah jika mengawini lebih dari satu), maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki.

Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya".
Peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, mengutip tulisan M Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Qur'an (1996) -- sebagaimana diuraikan oleh istri Nabi, Aisyah ra -- menyangkut sikap sementara orang (wali) yang ingin mengawini anak-anak yatim yang kaya lagi cantik, dan berada dalam pemeliharaannya, tetapi tidak ingin memberinya mas kawin yang sesuai serta tidak memperlakukannya secara adil. Ini menunjukkan bahwa poligami bertujuan untuk melindungi perempuan-perempuan yatim dari perbuatan aniaya para walinya.

Tetapi, jika kita mencermati ayat ini lebih teliti, ada kesimpulan lain yang bisa ditarik. Beberapa pertanyaan secara wajar dapat diajukan. Jika poligami dimaksudkan untuk mengansitipasi perbuatan aniaya para wali terhadap perempuan-perempuan yatim yang ber-ada dalam pemeliharaan mereka, apakah tepat sepenuhnya dengan pengalihan kepada mengawini perempuan-perempuan lain yang bukan yatim? Apakah tidak lebih tepat jika mereka dilarang saja mengawini anak-anak yatim itu? Bukankah itu lebih menjamin tercapainya tujuan? Mengapa justru para wali itu diberikan peluang dan dibolehkan mengawini wanita-wanita yang bukan yatim?.

Apa hikmah dan makna tersirat di balik apa yang termaktub pada ayat ini?
Di satu sisi jelas permunculan perkara anak yatim secara bersamaan dengan perkara perempuan dalam ayat ini menunjukkan keduanya sering menjadi korban diskriminasi dan ketidakadilan.

Dalam Al-Qur'an kelompok anak-anak dan perempuan termasuk dalam kelompok al-mustadh'afin (kaum yang lemah).

Dalam realitas sosial tak bisa dipungkiri hal ini sesuai kenyataan.
Menurut pendapat penulis di antara hikmah di balik khitab (perkataan) yang demikian ialah isyarat bahwa poligami tidak hanya boleh karena 'illat (alasan) atau kasus seperti di atas, tetapi juga terbuka bagi alasan-alasan lain, selama batasan (jumlah) dan syarat yang telah ditetapkan tetap terjaga (terpenuhi).
Demikianlah, banyak peristiwa-peristiwa khusus yang terjadi pada masa Nabi diabadikan dalam ayat-ayat Al-Qur'an, dengan bentuk khitab yang sedemikian rupa, dan menjadi dasar hukum yang berlaku dan relevan sepanjang zaman dan di setiap tempat.

Apabila dikaji lebih lanjut, ayat 3 surat An-Nisa di atas dengan jelas menyebutkan bahwa monogami lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (lebih baik). Ini berarti poligami membawa posisi laki-laki dekat pada berbuat aniaya; dengan kata lain poligami rentan terhadap tindakan sewenang-wenang terhadap perempuan.

Kesimpulan ini sejalan dengan kandungan surat An-Nisa ayat 129, seperti dijelaskan sebelumnya, yang menunjukkan kesulitan yang sangat besar bagi pria dalam berpoligami. Ada satu hal yang sering dipertanyakan: "Apakah istri yang menolak dipoligami berarti menolak perintah Allah.

Jika kita kembali mencermati ayat yang mendasari bolehnya poligami di atas, disebutkan bahwa seorang pria tidak seharusnya melakukan poligami jika ia sendiri khawatir akan terjerumus pada perbuatan aniaya. Ini berarti pria yang tetap melakukan poligami sedang ia sendiri khawatir akan berbuat aniaya, berarti mengingkari hati nuraninya dan melanggar ketetapan Allah itu.
Pada dasarnya poligami hukumnya boleh.

Karena suatu hukum dalam pelaksanannya selalu berjalan seiring dengan kondisi-kondisi yang melingkupinya (al hukmu yaduru ma'a 'illatihi), maka hukum poligami bersifat elastis (berubah-ubah) sesuai kondisi yang meliputinya. Jika kita melihat fakta riil dalam masyarakat -- sebagaimana yang sering diungkapkan para aktivis pembela perempuan -- di mana pria yang berpoligami sering mengabaikan kewajibannya dan berbuat aniaya terhadap istri-istrinya, maka sudah semestinya pihak yang memiliki otoritas dan berwewenang (dalam hal ini pemerintah) mengatur perizinan poligami -- bukan menutup rapat-rapat peluang poligami -- dan membuat sistem aturan dan mekanisme kontrol tertentu yang dapat diandalkan untuk menjamin terlaksananya poligami dengan baik.
Lalu, bagaimana dengan wanita yang menolak polgami ? apakah ia termasuk menentang Allah dan RasulNya, (Al Ahzab : 36) ? tanyakan kedalam hati, apakah alasannya ? sebab bukankah semua tergantung kepada niat kita ?

Poligami, Wahyu Ilahi Yang Ditolak

Wahyu Adalah Ruh

Allah ta’ala menyebut wahyu-Nya dengan ruh. Apabila ruh tersebut hilang, maka kehidupan juga akan hilang. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (wahyu) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur’an itu nur (cahaya), yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (QS. Asy Syuro: 52). Dalam ayat ini disebutkan kata ‘ruh dan nur’. Di mana ruh adalah kehidupan dan nur adalah cahaya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)

Kebahagiaan Hanya Akan Diraih Dengan Mengikuti Wahyu

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Kebutuhan hamba terhadap risalah (wahyu) lebih besar daripada kebutuhan pasien kepada dokter. Apabila suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan kecuali dengan dokter tersebut ditangguhkan, tentu seorang pasien bisa kehilangan jiwanya. Adapun jika seorang hamba tidak memperoleh cahaya dan pelita wahyu, maka hatinya pasti akan mati dan kehidupannya tidak akan kembali selamanya. Atau dia akan mendapatkan penderitaan yang penuh dengan kesengsaraan dan tidak merasakan kebahagiaan selamanya.

Maka tidak ada keberuntungan kecuali dengan mengikuti Rasul (wahyu yang beliau bawa dari Al Qur’an dan As Sunnah, pen). Allah menegaskan hanya orang yang mengikuti Rasul -yaitu orang mu’min dan orang yang menolongnya- yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya yang artinya,”Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al A’raf: 157) (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)

Poligami, Wahyu Ilahi yang Ditolak

Saat ini, poligami telah menjadi perdebatan yang sangat sengit di tengah kaum muslimin dan sampai terjadi penolakan terhadap hukum poligami itu sendiri. Dan yang menolaknya bukanlah tokoh yang tidak mengerti agama, bahkan mereka adalah tokoh-tokoh yang dikatakan sebagai cendekiawan muslim. Lalu bagaimana sebenarnya hukum poligami itu sendiri [?!] Marilah kita kembalikan perselisihan ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah.

Allah Ta’ala telah menyebutkan hukum poligami ini melalui wahyu-Nya yang suci, yang patut setiap orang yang mengaku muslim tunduk pada wahyu tersebut. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisa’: 3)

Poligami juga tersirat dari perkataan Anas bin Malik, beliau berkata,”Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menggilir istri-istrinya dalam satu malam, dan ketika itu beliau memiliki sembilan isteri.” (HR. Bukhari). Ibnu Katsir -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Nikahilah wanita yang kalian suka selain wanita yang yatim tersebut. Jika kalian ingin, maka nikahilah dua, atau tiga atau jika kalian ingin lagi boleh menikahi empat wanita.” (Shohih Tafsir Ibnu Katsir). Syaikh Nashir As Sa’di -semoga Allah merahmati beliau- mengatakan, “Poligami ini dibolehkan karena terkadang seorang pria kebutuhan biologisnya belum terpenuhi bila dengan hanya satu istri (karena seringnya istri berhalangan melayani suaminya seperti tatkala haidh, pen).

Maka Allah membolehkan untuk memiliki lebih dari satu istri dan dibatasi dengan empat istri. Dibatasi demikian karena biasanya setiap orang sudah merasa cukup dengan empat istri, dan jarang sekali yang belum merasa puas dengan yang demikian. Dan poligami ini diperbolehkan baginya jika dia yakin tidak berbuat aniaya dan kezaliman (dalam hal pembagian giliran dan nafkah, pen) serta yakin dapat menunaikan hak-hak istri. (Taisirul Karimir Rohman).

Imam Syafi’i mengatakan bahwa tidak boleh memperistri lebih dari empat wanita sekaligus merupakan ijma’ (konsensus) para ulama dan yang menyelisihinya adalah sekelompok orang Syi’ah. Memiliki istri lebih dari empat hanya merupakan kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Shohih Tafsir Ibnu Katsir). Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i ketika ditanya mengenai hukum berpoligami, apakah dianjurkan atau tidak? Beliau menjawab: “Tidak disunnahkan, tetapi hanya dibolehkan.” (Lihat ‘Inilah hakmu wahai muslimah’, hal 123, Media Hidayah). Maka dari penjelasan ini, jelaslah bahwa poligami memiliki ketetapan hukum dalam Al Qur’an dan As Sunnah yang seharusnya setiap orang tunduk pada wahyu tersebut.

Tidak Mau Poligami, Janganlah Menolak Wahyu Ilahi

Jadi sebenarnya poligami sifatnya tidaklah memaksa. Kalau pun seorang wanita tidak mau di madu atau seorang lelaki tidak mau berpoligami tidak ada masalah. Dan hal ini tidak perlu diikuti dengan menolak hukum poligami (menggugat hukum poligami). Seakan-akan ingin menjadi pahlawan bagi wanita, kemudian mati-matian untuk menolak konsep poligami. Di antara mereka mengatakan bahwa poligami adalah sumber kesengsaraan dan kehinaan wanita. Poligami juga dianggap sebagai biang keladi rumah tangga yang berantakan. Dan berbagai alasan lainnya yang muncul di tengah masyarakat saat ini sehingga dianggap cukup jadi alasan agar poligami di negeri ini dilarang.

Hikmah Wahyu Ilahi

Setiap wahyu yang diturunkan oleh pembuat syariat pasti memiliki hikmah dan manfaat yang besar. Begitu juga dibolehkannya poligami oleh Allah, pasti memiliki hikmah dan manfaat yang besar baik bagi individu, masyarakat dan umat Islam. Di antaranya: (1) Dengan banyak istri akan memperbanyak jumlah kaum muslimin. (2) Bagi laki-laki, manfaat yang ada pada dirinya bisa dioptimalkan untuk memperbanyak umat ini, dan tidak mungkin optimalisasi ini terlaksana jika hanya memiliki satu istri saja. (3) Untuk kebaikan wanita, karena sebagian wanita terhalang untuk menikah dan jumlah laki-laki itu lebih sedikit dibanding wanita, sehingga akan banyak wanita yang tidak mendapatkan suami. (4) Dapat mengangkat kemuliaan wanita yang suaminya meninggal atau menceraikannya, dengan menikah lagi ada yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan dia dan anak-anaknya. (Lihat penjelasan ini di Majalah As Sunnah, edisi 12/X/1428)

Menepis Kekeliruan Pandangan Terhadap Poligami

Saat ini terdapat berbagai macam penolakan terhadap hukum Allah yang satu ini, dikomandoi oleh tokoh-tokoh Islam itu sendiri. Di antara pernyataan penolak wahyu tersebut adalah : “Tidak mungkin para suami mampu berbuat adil di antara para isteri tatkala berpoligami, dengan dalih firman Allah yang artinya,”Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An Nisaa’: 3). Dan firman Allah yang artinya,”Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (QS. An Nisaa’: 129).”

Sanggahan: Yang dimaksud dengan “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil” dalam ayat di atas adalah kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil dalam rasa cinta, kecondongan hati dan berhubungan intim. Karena kaum muslimin telah sepakat, bahwa menyamakan yang demikian kepada para istri sangatlah tidak mungkin dan ini di luar kemampuan manusia, kecuali jika Allah menghendakinya. Dan telah diketahui bersama bahwa Ibunda kita, Aisyah radhiyallahu ‘anha lebih dicintai Rasulullah daripada istri beliau yang lain, karena Aisyah masih muda, cantik dan cerdas. Adapun hal-hal yang bersifat lahiriah seperti tempat tinggal, uang belanja dan waktu bermalam, maka wajib bagi seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu untuk berbuat adil. Hal ini sebagaimana pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Nawawi, dan Ibnu Hajar.

Ada juga di antara tokoh tersebut yang menyatakan bahwa poligami akan mengancam mahligai rumah tangga (sering timbul percekcokan). Sanggahan: Perselisihan yang muncul di antara para istri merupakan sesuatu yang wajar, karena rasa cemburu adalah tabiat mereka. Untuk mengatasi hal ini, tergantung dari para suami untuk mengatur urusan rumah tangganya, keadilan terhadap istri-istrinya, dan rasa tanggung jawabnya terhadap keluarga, juga tawakkal kepada Allah. Dan kenyataannya dalam kehidupan rumah tangga dengan satu istri (monogami) juga sering terjadi pertengkaran/percekcokan dan bahkan lebih. Jadi, ini bukanlah alasan untuk menolak poligami.

Apa yang Terjadi Jika Wahyu Ilahi Ditolak ?

Kaum muslimin –yang semoga dirahmati Allah-. Renungkanlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berikut ini, apa yang terjadi jika wahyu ilahi yang suci itu ditentang.

Allah telah banyak mengisahkan di dalam al-Qur’an kepada kita tentang umat-umat yang mendustakan para rasul. Mereka ditimpa berbagai macam bencana dan masih nampak bekas-bekas dari negeri-negeri mereka sebagai pelajaran bagi umat-umat sesudahnya. Mereka di rubah bentuknya menjadi kera dan babi disebabkan menyelisihi rasul mereka. Ada juga yang terbenam dalam tanah, dihujani batu dari langit, ditenggelamkan di laut, ditimpa petir dan disiksa dengan berbagai siksaan lainnya. Semua ini disebabkan karena mereka menyelisihi para rasul, menentang wahyu yang mereka bawa, dan mengambil penolong-penolong selain Allah.

Allah menyebutkan seperti ini dalam surat Asy Syu’ara mulai dari kisah Musa, Ibrahim, Nuh, kaum ‘Aad, Tsamud, Luth, dan Syu’aib. Allah menyebut pada setiap Nabi tentang kebinasaan orang yang menyelisihi mereka dan keselamatan bagi para rasul dan pengikut mereka. Kemudian Allah menutup kisah tersebut dengan firman-Nya yang artinya,”Maka mereka ditimpa azab. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti yang nyata, dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy Syu’ara: 158-159). Allah mengakhiri kisah tersebut dengan dua asma’ (nama) -Nya yang agung dan dari kedua nama itu akan menunjukkan sifat-Nya. Kedua nama tersebut adalah Al ‘Aziz dan Ar Rohim (Maha Perkasa dan Maha Penyayang). Yaitu Allah akan membinasakan musuh-Nya dengan ‘izzah/keperkasaan-Nya. Dan Allah akan menyelamatkan rasul dan pengikutnya dengan rahmat/kasih sayang-Nya. (Diringkas dari Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)

Semoga Allah menjadikan kita orang-orang yang mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beriman terhadap apa yang beliau bawa. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar Do’a hamba-Nya. Alhamdulillahi rabbil ‘alamin wa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa ashabihi ath thoyyibina ath thohirin.

Wanita Dimuliakan Dengan Adanya Poligami

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahuLlah setidaknya ada 5 problem yang terpecahkan oleh karena adanya poligami. Dan solusi dari poligami terhadap kelima masalah ini ternyata betul-betul menghargai dan membawa wanita pada derajat yang mulia. Kelima problem tersebut antara lain :

Ditemukannya tabiat yang tidak biasa pada sebagian pria, yakni tidak merasa puas hanya dengan memiliki seorang istri.

Sering dijumpai adanya wanita (istri) yang mandul, tidak memiliki anak. Akan tetapi, ia tetap menaruh rasa cinta di dalam kalbunya kepada suaminya, dan suaminyapun tetap menaruh rasa cinta didalam hatinya kepada istrinya.

Kadang-kadang ditemukan adanya seorang istri yang menderita sakit sehingga tidak memungkinkan baginya melakukan hubungan suami istri, atau tidak dapat melakukan yang semestinya terhadap rumah tangga, suami, dan anak-anaknya.

Terjadinya banyak peperangan atau pergolakan fisik yang telah mengakibatkan jatuhnya korban berupa ribuan, bahkan jutaan, kaum pria.

Acapkali ditemukan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk laki-laki dan perempuan suatu umat, bangsa, atau belahan dunia tertentu tidak seimbang. Kadang-kadang jumlah kaum perempuannya lebih banyak ketimbang jumlah laki-lakinya.

Wassalam.

diambil dari beberapa sumber.

Posting Komentar