Sabtu, 16 Mei 2009

BUKU FITNAH BARU JIL (JARINGAN IBLIS LIBERAL)


BUKU GERAKAN ISLAM TRANSNASIONAL DILUNCURKAN Puluhan tokoh politik dan Islam menghadiri peluncuran buku berjudul Ekpansi Gerakan Islam Transnasional Indonesia. Diantaranya adalah Gus Dur, Wiranto, Akbar Tanjung, dan Try Sutrisno.

Acara bedah buku tersebut digelar oleh Wahid Institute di Hotel Gran Melia, Jl HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu (16/5/2009).


Masing-masing tokoh tersebut memberikan pandangannya mengenai pemahaman keislaman yang toleran. Sesuai dengan asas-asas yang dibangun oleh pendiri bangsa ini.

Hal ini untuk merespon semakin maraknya model-model pemahaman keislaman yang ekstrim.

Baik dalam bentuk ormas maupun partai politik yang ada.
Model-model keislaman seperti itu dinilai akan mengancam keberagaman dan pluralitas yang menjadi ciri khas Indonesia. Selain itu, jika tidak dibangun dialog akan membahayakan integritas dan keutuhan NKRI.

Pemberi komentar tentang hal itu adalah Gus Dur, Said Agil Sirod, Mustafa Bisri, Syafii Maarif dalam bentuk video. Menurut ketua panitia Ahmad Suaidi, buku ini telah diterjemahkan dalam 3 bahasa yaitu Inggris, Arab dan Turki. "Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman kepada dunia tentang pemikiran tokoh muslim di Indonesia yang moderat," kata Ahmad.

Juncto:

DI BALIK TUDINGAN IDEOLOGI TRANSNASIONAL : AWAS GERAKAN ISLAM DIADU DOMBA Isu ideologi transnasional mengemuka setelah dilontarkan oleh Ketua Umum PB NU, KH Hasyim Muzadi. Ia bahkan meminta pemerintah "mewaspadai" gerakan berideologi lintas negara. Tokoh-tokoh Islam lainnya membantah.

Jangan sampai gerakan Islam diadu domba. Suasana di Masjid Besar Baiturrahman Kota Banyuwangi pagi itu berbeda dari biasanya. Ahad 27 Mei 2007, jarum jam di dinding masjid menunjukkan pukul 07.00 WIB.

Beberapa orang terlihat memasuki pelataran masjid yang menjadi kebanggaan warga Banyuwangi tersebut.
Jam di dinding masjid terus bergerak. Di luar masjid, terik mentari mulsi terasa menyengat.

Orang-orang yang hadir terus bertambah hingga memenuhi ruangan utama masjid.
Kekeluargaan orang-orang yang hadir tampak menonjol. Sebagaimana tradisi kalangan Nahdlatul Ulama (NU) umumnya, mereka saling beruluk salam. Sebagian yang lainnya terlihat asyik berbincang-bincang sambil mengumbar senyum dan tawa, khas warga Nahdliyyin.

Di luar pelataran masjid, beberapa panitia masjid tampak sibuk menyambut orang-orang yang terus berdatangan menuju masjid terbesar di kota Banyuwangi, salah satu kota basis Nahdliyyin tersebut.

Sekitar lima menit sebelum pukul 08.00 WIB, peserta sudah mencapai angka 100.
Ahad itu, pengurus takmir dan pengurus ranting NU se-Majelis Wakil Cabang (MWC), kepengurusan NU di tingkat kecamatan kota Banyuwangi menggelar sebuah "hajatan" penting.

Acara warga Nahdliyyin tersebut dimulai pukul 08.00 hingga 14.30 WIB. Urun rembug warga NU tersebut menghasilkan lima keputusan. Pertama, seluruh warga NU se MWC diminta untuk melaksanakan instruksi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) untuk memberdayakan dan membentengi masjid NU dari ideologi di luar NU.

Kedua, seluruh warga NU diminta untuk kembali intens mengkaji ideologi Ahlussunnah Wal Jamaah (Asawaja), pegangan yang dianut NU sejak berdiri hingga saat ini. Ketiga, membahas tentang perlu tidaknya memberikan sertifikasi bagi seluruh masjid yang selama ini dipegang warga NU.

Keempat, membahas tentang pentingnya membuat teknik ideal khutbah. Ini sebagai jawaban dari alasan generasi muda NU yang malas ke masjid karena bosan mendengar khutbah yang berulang-ulang. Karenanya, pertemuan itu mengharapkan para khatib agar membuat bahan ceramah yang menarik dan tidak membosankan. Kelima, terkait dengan kebersihan dan kesehatan di masjid-masjid NU.


Secara keseluruhan, kepengurusan NU di Banyuwangi memiliki 24 cabang MWC. Pertemuan pengurus dan takmir masjid NU di Masjid Baiturrahman, Ahad 27 Mei 2007 lalu adalah pertemuan yang ke-14. Rencananya, mereka masih akan menggelar pertemuan serupa di 10 cabang MWC yang tersisa. "Dari 24 MWC sudah berjalan di 14 MWC. Acaranya, berpindah-pindah, tiap Sabtu dan Ahad," kata Ketua Tanfidziyah PCNU Banyuwangi KH Masykur Ali.
Langkah "memberdayakan dan membentengi masjid NU dari ideologi di luar NU" di atas tak terjadi dengan sendirinya.

Ormas terbesar di Indonesia itu merasa gerah dengan kiprah yang dilakukan sejumlah gerakan Islam, seperti Jamaah Tabligh (JT), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan gerakan Islam lainnya.Mereka menuding sejumlah gerakan Islam tersebut melakukan "pengambilalihan" masjid di sejumlah kantong NU, seperti di Banyuwangi, Sidoarjo, Pasuruan dan sejumlah daerah lainnya. Ada tiga masjid milik warga Nahdliyyin di Banyuwangi, Jawa Timur; masing-masing di Purwoharjo, Genteng dan Ketapang, yang diklaim telah diambilalih berbagai gerakan Islam tersebut.
Bentuk "pengambilalihan" bermacam-macam.

Pertama, melalui administrasi formal. Setelah dipercaya menjadi pengurus atau panitia masjid, dicari-cari apa "kekurangan" atau yang belum dilakukan masjid tersebut, seperti sertifikat dan lainnya.

Langkah berikutnya setelah mengetahui "kelemahan" administrasi masjid tersebut, mereka berusaha membantu dengan mendapatkan dan mengurus sertifikatnya.

Mereka akan mengeluarkan biaya pengurusan, baik separuh atau keseluruhannya. Kedua, mereka menyampaikan nilai-nilai Islam ala gerakan mereka, bahkan mempermasalahkan rituil ibadah yang selama ini dilakukan warga Nahdliyyin, seperti tarawih, qunut, tahlil, shalawat dengan menggunakan kata sayyidina dan lainnya. "Ketika mereka mengedepankan institusi dan praktik-praktik ubudiyah, masalahnya menjadi lain.

Karena itu, di masjid saya buang tas mereka. Karena mereka tak menggunakan etika. Menganggap diri paling benar, kemudian masuk atas nama ingin meramaikan masjid," ujar Penasihat Cabang Takmir Masjid Indonesia (LTMI) NU Muhdor Atim.
Namun, tudingan miring tersebut dibantah tegas Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia.

Saat berbicara di Universitas Negeri Jakarta, Kamis (15/2), Ismail menyatakan bahwa istilah pengambilalihan seperti disebutkan di atas tidak tepat. "Apa sih yang direbut," tuturnya. Namun, pentolan HTI ini tidak membantah jika ada beberapa masjid di sejumlah kantong NU di
Jawa Timur yang mengalami perubahan tradisi.

Fenomena ini bagi Ismail bisa jadi karena masjidnya selama ini sepi sehingga perlu ada yang memakmurkan. "Itu tidak ada masalah karena bagian dari fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan)," tukasnya, seperti dikutip dari majalah Syir’ah.
Tuduhan pengambilalihan masjid-masjid NU itu ternyata tak berhenti sampai di sini. Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi secara lantang angkat bicara.

Saat berpidato dalam peringatan 100 hari wafatnya KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) di Kantor PWNU, Surabaya, Jawa Timur, Selasa 29 April lalu, ia mengemukakan wasiat Pak Ud sebelum meninggal kepadanya agar berhati-hati dengan ideologi transnasional, seperti liberalisme Barat dan kekerasan Timur. "Sim (Hasyim), kamu harus dapat memotong ideologi transnasional itu karena ideologi transnasional itu dapat merusak NU dan Indonesia," ujar Muzadi menirukan wasiat almarhum KH Yusuf Hasyim.

Menurut mantan Ketua PWNU Jatim itu, Pak Ud menilai ideologi transnasional itu sama-sama berbahaya, baik ideologi yang datang dari Barat maupun dari Timur. "Karena itu, pemerintah juga harus ‘memotong’ masuknya ideologi transnasional tersebut sebab liberalisme dari Barat maupun Islam ideologis dari Timur juga sama-sama merusak.


Pemerintah harus menggunakan Pancasila sebagai ideologi yang membatasi," paparnya, seperti dikutip dari Republika online, Senin (30/4).
Hal serupa juga ia kemukakan saat berpidato di pembukaan Rapat Kerja Nasional Fatayat NU di Bogor awal Mei lalu.

Selain mengajak para hadirin agar mewaspadai ancaman pemikiran dari Barat, Hasyim yang juga menjabat sebagai Presiden World Conference on Religions for Peace ini juga mengingatkan para peserta agar berhati-hati terhadap ancaman ideologi transnasional.

Dalam bagian pidatonya tersebut, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang ini menyebutkan, sekarang hampir seluruh negara di Timur Tengah melarang Ikhwanul Muslimin, termasuk Hizbut Tahrir, seperti di Yordania, Iran, Syiria dan Arab Saudi. "Ada juga Jaulah (sebutan untuk pengikut Jamaah Tabligh—red) yang celananya mesti dipertinggikan dengan segala ekstrimitasnya. Dia ingin mewujudkan suasana seperti zaman Rasulullah pada zamannya.

Ini semua yang saya maksud aliran dan ideologi transnasional," kata Hasyim, yang juga menjabat sebagai Sekjen International Conference of Islamic Scholar itu, seperti dilansir dari NU Online, Kamis (10/5).
Pekan lalu Sabili berusaha mengecek kebenaran pendapat di atas ke Hasyim Muzadi, namun tidak berhasil.

Saat dihubungi melalui telepon genggamnya, ia menyatakan tidak bisa menjawab pertanyaan Sabili karena sedang berada di Beijing, Cina dan baru bisa ditemui Selasa (12/6), usai tenggat akhir penerbitan yang jatuh pada Senin (11/6).Ketika dihubungi per telepon di hari Senin, ponselnya tidak diangkat. Sekretaris Muzadi Ghozi al-Fatih menyatakan, hari itu Muzadi ada di Jawa Timur.
Sabili mencoba menghubungi rumahnya di Malang, namun sedang keluar rumah. Pandangan Muzadi di atas mengundang protes keras dari pihak-pihak yang dituding Muzadi. Ketua Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Irfan S Awwas menyatakan, pendapat Muzadi di atas tidak berdasarkan fakta di lapangan. "Dengan syariat Islam tegak, nanti akan mengancam Pancasila dan mengancam bangsa Indonesia, itu sangat berbahaya," ujarnya. Irfan juga menyatakan, jika kembali pada khittah NU, justru apa yang dilakukan gerakan Islam, seperti MMI, HTI dan lainnya adalah melanjutkan perjuangan yang sudah dirintis NU dan Muhammadiyah sebelumnya.

Apa yang dilakukan MMI dan lainnya adalah mengaktualkan kembali apa yang telah digagas NU dan Muhammadiyah. "Karena NU sendiri ingin menegakkan syariat Islam sesuai
Ahlussunah wal Jamaah. Kemudian Muhammadiyah sendiri dalam keputusan Tarjihnya tahun 1950 membuat misi tentang Islam dan mengatakan Islam itu adalah tatanan orang per orang maupun pemerintahan negara," tegasnya.

Pendapat serupa dikemukakan Ismail Yusanto, jubir Hizbut Tahrir Indonesia. Menurutnya, tidak ada yang perlu dipersoalkan tentang ideologi transnasional, karena semua ideologi adalah transnasional. "Mempersoalkan ideologi transnasional dalam konteks keislaman saja adalah sangat tendensius. Ideologi feodalisme, komunisme, bahkan demokrasi yang kita agung-agungkan selama ini juga adalah ideologi transnasional," imbuh Yusanto.

Menurut Yusanto, jika Indonesia merasa terancam dengan ideologi trasnasional, maka yang harus diwaspadai bukanlah Islam, tapi kapitalisme global. "Kita mestinya tak setuju dengan resolusi terhadap Iran, juga eksploitasi sumber daya alam Indonesia yang dilakukan perusahaan multinasional. Ini kan digerakkan oleh ideologi transnasional.

Kenapa tidak mereka yang diprotes," tukas Ismail kepada Faris Khoirul Anam dari Sabili.
Ketua Forum Umat Islam (FUI) yang menghimpun berbagai ormas dan gerakan Islam, Mashadi, menyatakan sulit menerima pendapat Muzadi di atas. Pasalnya, Muzadi tidak memiliki dasar definisi yang memadai.

Pemerintah sendiri menurut salah satu pendiri Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini terpengaruh ideologi transnasional, seperti kapitalisme dan liberalisme.
Jika saat ini masuk pengaruh gerakan Islam yang ada di luar negeri, menurutnya, hal yang wajar sebab dalam NU sendiri kehilangan konteks dan terjadi klarifikasi yang sangat hebat. "Wacana sekular yang saat ini diusung kalangan muda NU secara tidak langsung telah meninggalkan prinsip Islam itu sendiri," katanya. Namun, pengamat muda NU Ahmad Baso tidak mau terlalu jauh mengomentari pendapat Muzadi di atas. Pengurus Lajnah Ta’lief Wan Nasyr (LTN) NU ini tidak yakin bahwa dengan pendapat di atas, Muzadi mengiginkan perpecahan di kalangan gerakan Islam di Indonesia.

Sepanjang yang diketahuinya selama ini, Muzadi adalah sosok yang menganggap keragaman bukan sumber perpecahan. "Berbeda pandangan boleh saja, tapi jangan sampai dengan itu terjadi ketegangan-ketegangan. Karena hal itu akan dimanfaatkan orang luar," tegas Baso. Karenanya, ia mengharapkan semua gerakan Islam saling bersilaturahim. Jangan saling hujat satu sama lain. "Saya kira komunikasi harus dibangun karena yang menjadi taruhan adalah kebangsaan kita. Bagaimana meskipun berbeda pendapat, tapi tetap menjaga koridor persatuan," ujarnya, penuh harap. Jadi, seyogianya tokoh-tokoh Islam bisa memahami gerakan Islam lainnya. Itu penting jika kita tidak ingin ada pihak lain yang mengadu domba antar gerakan Islam di Indonesia.

(Rivai Hutapea).
Sumber : MAJALAH SABILI, Edisi 25 Th XIV, 28 Juni 2007, 13 Jumadil Akhir 1428;







Posting Komentar