Jumat, 27 Maret 2009

DOSA SAYA.


Ini dosa saya, kalau toh menjadi muslim “aneh” itu adalah dosa yang akan saya tanggung bagi diri saya sendiri.
Setelah sekian lama saya malang melintang kesana –kemari, dari satu tempat ke tempat yang lain, dari satu harokah ke harokah yang lain, dari satu mazhab ke mazhab yang lain semuanya didalam koridor Islam yang saya yakini.

Akhirnya saya hanya dapat menyimpulkan serta mengumpulkan kata-kata dan kalimat yang terbanyak yang didapatkan adalah: “liberal, radikal, dosa, murtad, fanatik, fundamentalis” serta saling caci dan saling hujat diantara sesama komponen Islam, akibat yang satu merasa paling benar dan paling beriman terhadap yang lainnya dengan dasar argumen yang menurut pengamatan saya adalah tradisi, latah & ikut-ikutan, dengan tanpa malakukan obeservasi-observasi berdasarkan al-qur’an dan sunah, akan tetapi dalam debat, diskusi masing-masing selalu mengutip al-qur’an dan sunah demi pembenaran-pembenaran argumentasinya, dengan secara emosional.

Jika kita sedikit mau berfikir radikal tanpa terikat terhadap pakem-pakem kelompok atau mazhab atau harokah, maka kemungkinan besar persatuan didalam Islam bukanlah suatu hal yang mustahil, akan tetapi disebabkan rasa kesombongan dengan satu-satunya yang mempunyai “otoritas kebenaran”, maka yang terjadi adalah saling caci dan saling hujat.

Disatu ketika saya merasakan seolah-olah Allah SWT. seperti telah melemparkan sebutir dadu kesuatu tempat, dan kita semua disuruh mencarinya, dan setiap orang selalu berkata “itu dadunya dengan titik-titik jumlahnya sekian”, begitu juga orang lain.
Dan belum pernah saya temukan yang berkata “itu dadu” tanpa berkata terlihat karena titik-titiknya dari tempat saya sejumlah sekian, semuanya berkata melihat dadu dari sisi pandangnya.
Padahal dadu ya dadu tidak perlu melihat jumlah titik-titknya dari setiap permukaaan.

HATI & OTAK:
Yang terlihat diantara sesama Islam saat ini adalah lebih dominan menggunakan otak, dengan memori serta nalarnya “menciptakan Islam” sesuai dengan apa yang diterima akal, masuk diakal dengan segala keterbatasan logika berfikir.
Padahal jika kita membaca shirah Rasululullah ketika masa kecilnya pernah dibedah dadanya untuk dicuci hatinya.
Berarti fungsi hati tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
Jika kita mau men-sinkkronkan antara hati dan nalar, mungkin saling hujat antara sesama Islam tidak akan terjadi, sebab akhirnya kita semua akan menyadari “kebenaran & kesalahan” terhadap pendapat ataupun keyakinan terhadap suatu konsep Islam yang kita yakini, tapi sayangnya kita tidak pernah berjiwa besar untuk mengakuinya, karena takut terhadap hujatan dari kawan-kawan yang mempunyai satu konsep yang sama.

Menjadi lain dari yang lain adalah suatu konsekwensi bagi kita yang berani men-dobrak habis konsep-konsep yang selama ini kita ikuti karena latah atau berdasarakan emosi, disatu ketika kita harus tegas dan keras disuatu saat yang lain kita bisa menerima konsep yang lain tanpa harus menjadi pragmatis dan oportunis.

Yang terlihat jelas sekali pada saat ini kita semua “beragama secara emosional” sehingga kadang-kadang yang disebelah kita sudah dianggap bukan satu golongan atau satu agama.

Jadi alangkah indahnya Islam, jika kita tidak hanya menganutnya secara emosional dengan hanya mengandalkan hati, akan tetapi kita bisa men-sinkronkan antara hati dan otak.

Ya Allah saksikanlah.

Posting Komentar