Setelah beberapa jam dari perbatasan Yordan dengan wilayah pendudukan Israel.
Yerusalem, suatu hari pada pada suatu masa yang lalu.
Seseorang bertanya dengan tatapan curiga. "Anda muslim?" katanya. Angin semilir mengibarkan kafiyehnya yang terjuntai.
Ketika ia yakin lawan bicaranya adalah pemeluk agama Islam, senyumnya mengembang. "Alhamdulillah," katanya seraya mengulurkan tangan.
Mata kupejamkan: Baik Israel maupun Palestina sama-sama bersikeras mendapatkan hak wilayah atas Jerusalem. Palestina berjuang untuk mengambil alih kompleks Masjidil Aqsa. Apalagi, di bawah Dome of The Rock, masih satu kompleks, juga berdiri Tembok Ratapan.
Setiap malam Sabtu, kita melihat ribuan orang Yahudi beribadah di tembok itu seraya terdengar keras suara azan dari Masjidil Aqsa.
Sembilan pintu masuk ke kawasan Masjidil Aqsa.
Setiap pintu dijaga tiga orang. Dua tentara Israel yang bersenjata dan seorang petugas keamanan muslim.
Tentara Israel bertugas menyeleksi siapa saja yang boleh masuk ke areal masjid, sedangkan petugas lainnya memastikan bahwa yang masuk benar-benar beragama Islam.
"Kalau situasi keamanan sedang panas, aturan usia 18-45 tahun dilarang masuk ke Al Aqsa diterapkan sangat ketat. Hari ini kayaknya agak longgar.
Tapi, tetap tentara Israel yang punya kuasa menentukan apakah seseorang boleh masuk Al Aqsa atau tidak,"
Isi khotbah Jumat di Al Aqsa sebelumnya, sebagian besar bersifat umum, ajakan amar makruf nahi mungkar. "Jelas tidak mungkin kita mendengar ajakan untuk memerangi Israel di Al Aqsa ini. Mungkin kalau salat Jumat di wilayah Palestina seperti di Hebron, Ramallah, atau Gaza, bisa saja isinya ajakan berjihad,"
.Di sebuah kota yang penghuninya menganut tiga agama berbeda—Islam, Kristen, Yahudi—dengan potensi konflik antara warga Palestina dan Israel yang bisa meletup setiap saat, pertanyaan tentang agama menjadi penting. Rasa curiga telah menjadi santapan sehari-hari bagi warga Palestina dan Israel di Yerusalem, dengan sebuah pemicu klasik: teror dan kekerasan.
Dan hal itu tentu tidak cuma berlangsung di kota tersebut. Sebelumnya seminggu sebelum kedatanganku misalnya, kerusuhan berdarah kembali pecah di Khan Yunis, sebelah selatan Jalur Gaza.
Ribuan demonstran Palestina berjingkrakan di dekat sebuah permukiman Yahudi. Sembari mengeluakan kutukan terhadap Israel, mereka merangsek ke arah polisi Israel.
Pelor meletus, selalu ada saja warga Palestina terluka, termasuk para bocah berusia. Beberapa demonstran rebah disasar peluru polisi Israel, yang sebahagian besar adalah milisi wajib militer, sementara warga Palestina menyikat seorang warga Yahudi hingga babak-belur tak berbentuk.
Bom bunuh diri setiap saat bisa di wilyah pendudukan tersebut.
Hampir lebih setengah abad setelah pemimpin Zionis David Ben-Gurion mendeklarasikan negara Israel di tanah Palestina, kekerasan telah menjadi sesuatu yang akrab di Yerusalem ataupun wilayah-wilayah permukiman Yahudi-Palestina lainnya. Sepanjang perjalanan dari perbatasan Yordan ke Yerusalem tampak bukit-bukit batu sesekali tank teronggok dan beberapa pos chek poin tentara Israel, sepanjang jalan seolah mendokumentasikan sejarah perjalanan kota Yerusalem yang kelam.
Kota tua itu memang rentan terhadap kekerasan. Selain karena dihuni oleh penduduk tiga agama berbeda, kawasan itu kini dibagi dalam tiga wilayah administratif: area di bawah kontrol otoritas Palestina, area yang dihuni oleh orang Palestina tapi dikontrol oleh Israel, dan area yang sepenuhnya dikendalikan oleh Israel. Di tiga kawasan inilah sekitar 800 ribu warga Israel dan 180 ribu warga Palestina tinggal.
Pembagian wilayah ini ternyata tidak juga menyelesaikan soal karena pemerintah Israel tak ingin membiarkan penduduk Palestina bebas beraktivitas. Di sejumlah kawasan muslim di Yerusalem, mata-mata Israel mondar-mandir mengamati penduduk muslim.
Sementara itu, kamera-kamera pengintai mengintip dari berbagai gedung. Malna Salaymeh, 25 tahun, seorang warga muslim Yerusalem, menunjukkan kamera-kamera itu kepadaku.
Di antara lorong-lorong kampung yang kotor dan sempit, kamera yang tersebar di beberapa titik itu mudah saja dikenali. "Anda lihat itu.
Di sini kami hidup dalam pengamatan Israel," kata wanita muda yang menemaniku itu sambil berlari kecil menghindari sorotan kamera.
Pemerintah Israel tak membantah telah memasang kamera pengintai. "Kamera itu dipasang untuk mencegah demonstrasi warga Palestina, yang bisa meledak setiap saat.
Demonstrasi dan serangan warga Palestina terhadap tentara Israel memang kerap terjadi di Yerusalem. Anak-anak muda yang geram sering melempari kamera pengintai dengan batu. Bahkan bocah-bocah balita pun sudah giat bermain batu. Hussein, 4 tahun, adalah salah satu contoh. "Saya melempari mereka karena mereka Yahudi," ujarnya malu-malu sambil bersembunyi di balik gaun ibunya.
Naseer, seperti juga Malna Salaymeh dan penduduk Palestina lainnya, tinggal di kawasan kumuh di Old City Jerusalem. Mereka bertetangga dengan penduduk Yahudi yang berdiam di rumah-rumah yang lebih bersih dan terawat.
Dari loteng rumah Malna yang miskin dan muram, terlihat jelas permukiman Israel yang rapi dan teratur.
Jalan-jalan lapang melintasi permukiman Yahudi di Old City—lengkap dengan lahan khusus untuk parkir. "Kami tidak mendapat fasilitas seperti yang diterima warga Kristen dan Yahudi," kata dia, seorang warga Palestina.
Padahal, seperti warga Kristen dan Yahudi, ia membayar pajak kepada pemerintah Israel dan otoritas Palestina.
Sejauh ini, sasaran kemarahan warga Palestina adalah pemerintah Israel. Meski Yerusalem telah dibagi dalam tiga kawasan permukiman, otoritas Israel terhadap tiap kawasan masih besar.
Kartu tanda penduduk (KTP) di Old City dan sejumlah kawasan lain, misalnya, dikeluarkan oleh Israel. Sekali warga muslim hengkang dari Yerusalem, pemerintah Israel akan mencabut KTP-nya.
Dan gerbang-gerbang kota akan tertutup selama-lamanya buat mereka. Maka, bertumpuklah kemarahan dan dendam di hati warga Palestina.
Rasa amarah itu kemudian terbukti menjadi sumbu penyulut yang ampuh bagi aksi kekerasan di Yerusalem.
Di lain pihak, warga Yahudi menilai aksi penduduk Palestina itu sebagai teror. Mereka menuding selalu dengan alasan yang dicari-cari.
Pendapat senada dikeluarkan, warga Yahudi lainnya yang kebetulan ditemui disebuah cafe. "Kami telah memberi mereka tanah, tapi kami tetap dibunuhi. Selama ini kami diam. Tetapi apa yang kami dapat?" ia bertanya...pertanyaan yang naif ..apakah dia tidak menyadari bahwa pemerintahnya telah merampas hak-hak bangsa Palestina, kenapa logikanya terbalik...?
Pertanyaannya: betulkah Israel berniat mengembalikan Gaza dan Tepi Barat? Ini memang tawaran lama. Dan sudah lama pula Israel menjadikan kedua kawasan itu sebagai kartu truf yang bisa ditarik-ulur dalam perundingan dengan Palestina.
Maka, anak-anak muda Palestina yang membungkus "batu-batu intifadah" dengan dendam dan amarah untuk kemudian melemparkannya ke arah warga Yahudi di jalanan Yerusalem akan terus bertambah.
Dalam lorong-lorong permukiman muslim yang kumuh di Yerusalem, Hussein, bocah empat tahun itu, berlari. "Saya melempar mereka karena mereka Yahudi dan telah membunuh abangku," katanya.
Kemudian dari jauh terdengar suara raungan sirene dari mobil militer Israel, tiba-tiba kawan ku menghilang dan aku ditinggalkannya sendiri, selalu terniat didalam hati untuk membantumu kawan...
aku pulang sendirian...
sekeping hatiku tertinggal disana....
masih terbayang jari-mu memberi secangkir teh dengan daun mint...
Yerusalem, suatu hari pada pada suatu masa yang lalu.
Seseorang bertanya dengan tatapan curiga. "Anda muslim?" katanya. Angin semilir mengibarkan kafiyehnya yang terjuntai.
Ketika ia yakin lawan bicaranya adalah pemeluk agama Islam, senyumnya mengembang. "Alhamdulillah," katanya seraya mengulurkan tangan.
Mata kupejamkan: Baik Israel maupun Palestina sama-sama bersikeras mendapatkan hak wilayah atas Jerusalem. Palestina berjuang untuk mengambil alih kompleks Masjidil Aqsa. Apalagi, di bawah Dome of The Rock, masih satu kompleks, juga berdiri Tembok Ratapan.
Setiap malam Sabtu, kita melihat ribuan orang Yahudi beribadah di tembok itu seraya terdengar keras suara azan dari Masjidil Aqsa.
Sembilan pintu masuk ke kawasan Masjidil Aqsa.
Setiap pintu dijaga tiga orang. Dua tentara Israel yang bersenjata dan seorang petugas keamanan muslim.
Tentara Israel bertugas menyeleksi siapa saja yang boleh masuk ke areal masjid, sedangkan petugas lainnya memastikan bahwa yang masuk benar-benar beragama Islam.
"Kalau situasi keamanan sedang panas, aturan usia 18-45 tahun dilarang masuk ke Al Aqsa diterapkan sangat ketat. Hari ini kayaknya agak longgar.
Tapi, tetap tentara Israel yang punya kuasa menentukan apakah seseorang boleh masuk Al Aqsa atau tidak,"
Isi khotbah Jumat di Al Aqsa sebelumnya, sebagian besar bersifat umum, ajakan amar makruf nahi mungkar. "Jelas tidak mungkin kita mendengar ajakan untuk memerangi Israel di Al Aqsa ini. Mungkin kalau salat Jumat di wilayah Palestina seperti di Hebron, Ramallah, atau Gaza, bisa saja isinya ajakan berjihad,"
.Di sebuah kota yang penghuninya menganut tiga agama berbeda—Islam, Kristen, Yahudi—dengan potensi konflik antara warga Palestina dan Israel yang bisa meletup setiap saat, pertanyaan tentang agama menjadi penting. Rasa curiga telah menjadi santapan sehari-hari bagi warga Palestina dan Israel di Yerusalem, dengan sebuah pemicu klasik: teror dan kekerasan.
Dan hal itu tentu tidak cuma berlangsung di kota tersebut. Sebelumnya seminggu sebelum kedatanganku misalnya, kerusuhan berdarah kembali pecah di Khan Yunis, sebelah selatan Jalur Gaza.
Ribuan demonstran Palestina berjingkrakan di dekat sebuah permukiman Yahudi. Sembari mengeluakan kutukan terhadap Israel, mereka merangsek ke arah polisi Israel.
Pelor meletus, selalu ada saja warga Palestina terluka, termasuk para bocah berusia. Beberapa demonstran rebah disasar peluru polisi Israel, yang sebahagian besar adalah milisi wajib militer, sementara warga Palestina menyikat seorang warga Yahudi hingga babak-belur tak berbentuk.
Bom bunuh diri setiap saat bisa di wilyah pendudukan tersebut.
Hampir lebih setengah abad setelah pemimpin Zionis David Ben-Gurion mendeklarasikan negara Israel di tanah Palestina, kekerasan telah menjadi sesuatu yang akrab di Yerusalem ataupun wilayah-wilayah permukiman Yahudi-Palestina lainnya. Sepanjang perjalanan dari perbatasan Yordan ke Yerusalem tampak bukit-bukit batu sesekali tank teronggok dan beberapa pos chek poin tentara Israel, sepanjang jalan seolah mendokumentasikan sejarah perjalanan kota Yerusalem yang kelam.
Kota tua itu memang rentan terhadap kekerasan. Selain karena dihuni oleh penduduk tiga agama berbeda, kawasan itu kini dibagi dalam tiga wilayah administratif: area di bawah kontrol otoritas Palestina, area yang dihuni oleh orang Palestina tapi dikontrol oleh Israel, dan area yang sepenuhnya dikendalikan oleh Israel. Di tiga kawasan inilah sekitar 800 ribu warga Israel dan 180 ribu warga Palestina tinggal.
Pembagian wilayah ini ternyata tidak juga menyelesaikan soal karena pemerintah Israel tak ingin membiarkan penduduk Palestina bebas beraktivitas. Di sejumlah kawasan muslim di Yerusalem, mata-mata Israel mondar-mandir mengamati penduduk muslim.
Sementara itu, kamera-kamera pengintai mengintip dari berbagai gedung. Malna Salaymeh, 25 tahun, seorang warga muslim Yerusalem, menunjukkan kamera-kamera itu kepadaku.
Di antara lorong-lorong kampung yang kotor dan sempit, kamera yang tersebar di beberapa titik itu mudah saja dikenali. "Anda lihat itu.
Di sini kami hidup dalam pengamatan Israel," kata wanita muda yang menemaniku itu sambil berlari kecil menghindari sorotan kamera.
Pemerintah Israel tak membantah telah memasang kamera pengintai. "Kamera itu dipasang untuk mencegah demonstrasi warga Palestina, yang bisa meledak setiap saat.
Demonstrasi dan serangan warga Palestina terhadap tentara Israel memang kerap terjadi di Yerusalem. Anak-anak muda yang geram sering melempari kamera pengintai dengan batu. Bahkan bocah-bocah balita pun sudah giat bermain batu. Hussein, 4 tahun, adalah salah satu contoh. "Saya melempari mereka karena mereka Yahudi," ujarnya malu-malu sambil bersembunyi di balik gaun ibunya.
Naseer, seperti juga Malna Salaymeh dan penduduk Palestina lainnya, tinggal di kawasan kumuh di Old City Jerusalem. Mereka bertetangga dengan penduduk Yahudi yang berdiam di rumah-rumah yang lebih bersih dan terawat.
Dari loteng rumah Malna yang miskin dan muram, terlihat jelas permukiman Israel yang rapi dan teratur.
Jalan-jalan lapang melintasi permukiman Yahudi di Old City—lengkap dengan lahan khusus untuk parkir. "Kami tidak mendapat fasilitas seperti yang diterima warga Kristen dan Yahudi," kata dia, seorang warga Palestina.
Padahal, seperti warga Kristen dan Yahudi, ia membayar pajak kepada pemerintah Israel dan otoritas Palestina.
Sejauh ini, sasaran kemarahan warga Palestina adalah pemerintah Israel. Meski Yerusalem telah dibagi dalam tiga kawasan permukiman, otoritas Israel terhadap tiap kawasan masih besar.
Kartu tanda penduduk (KTP) di Old City dan sejumlah kawasan lain, misalnya, dikeluarkan oleh Israel. Sekali warga muslim hengkang dari Yerusalem, pemerintah Israel akan mencabut KTP-nya.
Dan gerbang-gerbang kota akan tertutup selama-lamanya buat mereka. Maka, bertumpuklah kemarahan dan dendam di hati warga Palestina.
Rasa amarah itu kemudian terbukti menjadi sumbu penyulut yang ampuh bagi aksi kekerasan di Yerusalem.
Di lain pihak, warga Yahudi menilai aksi penduduk Palestina itu sebagai teror. Mereka menuding selalu dengan alasan yang dicari-cari.
Pendapat senada dikeluarkan, warga Yahudi lainnya yang kebetulan ditemui disebuah cafe. "Kami telah memberi mereka tanah, tapi kami tetap dibunuhi. Selama ini kami diam. Tetapi apa yang kami dapat?" ia bertanya...pertanyaan yang naif ..apakah dia tidak menyadari bahwa pemerintahnya telah merampas hak-hak bangsa Palestina, kenapa logikanya terbalik...?
Pertanyaannya: betulkah Israel berniat mengembalikan Gaza dan Tepi Barat? Ini memang tawaran lama. Dan sudah lama pula Israel menjadikan kedua kawasan itu sebagai kartu truf yang bisa ditarik-ulur dalam perundingan dengan Palestina.
Maka, anak-anak muda Palestina yang membungkus "batu-batu intifadah" dengan dendam dan amarah untuk kemudian melemparkannya ke arah warga Yahudi di jalanan Yerusalem akan terus bertambah.
Dalam lorong-lorong permukiman muslim yang kumuh di Yerusalem, Hussein, bocah empat tahun itu, berlari. "Saya melempar mereka karena mereka Yahudi dan telah membunuh abangku," katanya.
Kemudian dari jauh terdengar suara raungan sirene dari mobil militer Israel, tiba-tiba kawan ku menghilang dan aku ditinggalkannya sendiri, selalu terniat didalam hati untuk membantumu kawan...
aku pulang sendirian...
sekeping hatiku tertinggal disana....
masih terbayang jari-mu memberi secangkir teh dengan daun mint...
Posting Komentar