Ada anak dari bangsa ini yang kita lupakan yaitu SALAHUDDIN AL AYUBI…terbukti dalam sejarah beliau pernah MEMBEBASKAN AL-AQSA…bangkitkan semangat itu kembali….!!!
Daerah yang menggunakan bahasa Kurdi (warna terang)Orang Kurdi adalah satu kelompok etnis yang menganggap diri mereka penduduk asli suatu daerah yang sering dirujuk sebagai Kurdistan, suatu wilayah yang meliputi sebagian Iran, Irak, Syria, dan Turki. Komunitas Kurdi juga dapat diketemukan di Lebanon, Armenia, Azerbaijan (Kalbajar dan Lachin, sebelah barat Nagorno Karabakh) dan, pada beberapa dasawarsa terakhir, beberapa negara-negara Eropa serta Amerika Serikat. Secara etnis, kaum ini memiliki hubungan dengan suku bangsa Iran. Mereka menggunakan bahasa Kurdi, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang bahasa Iran.
Sepanjang sejarah, bangsa Kurdi selalu memperjuangkan kemerdekaannya, dan untuk itu telah berperang melawan Sumeria, Asyur, Persia, Mongolia, Tentara Salib Eropa, serta Turki. Dengan jumlah perkiraan 30 juta orang, kaum Kurdi merupakan salah satu kelompok etnis terbesar di dunia yang tidak memiliki negara-bangsa sendiri. Pada abad ke-20, Turki, Iran, dan Irak telah memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Kurdi
Sejarah politik Kurdistan sesungguhnya tergores sejak tahun 612 SM ketika imperium Medya sudah eksis di atas wilayah itu. Luas wilayah Kurdistan mencapai 409.650 kilometer persegi, yang terletak di sepanjang Pegunungan Taurus dan Zagros, dengan penduduk kini sekitar 40 juta jiwa.
Karakter geografis Kurdistan yang terdiri dari gugusan perbukitan, struktur sosial yang sangat sarat sentimen tribalisme, serta sistem mata pencarian yang mengandalkan pertanian dan menggembala memang membuat bangsa dan wilayah Kurdistan menjadi semieksklusif sepanjang sejarahnya selama sekitar 3.000 tahun.
Sepanjang sejarahnya, tidak ada satu bangsa atau kekuatan pun yang mampu menguasai secara penuh bangsa dan wilayah Kurdi, juga sering disebut sebagai Kurdistan. Yunani, Romawi, Persia, dan bahkan dinasti berbasis Islam selalu gagal menundukkan secara penuh bangsa Kurdi. Pada era modern pun, sistem yang melahirkan negara seperti Turki, Iran, Irak, dan Suriah gagal pula menguasai secara penuh wilayah Kurdi.
Namun, secara geopolitik, karakter geografis Kurdi justru membawa petaka karena harus menerima wilayah itu terbagi di antara lima negara pasca-Perang Dunia I.
Terpecahnya geografis, sejarah, dan politik bangsa Kurdistan terjadi pertama kali pada tahun 1514 menyusul pertempuran Chaldiran antara Dinasti Safavid dan Ottoman yang membawa mereka menandatangani sebuah perjanjian pembagian pengaruh di wilayah Kurdi.
Pemecahan wilayah Kurdi tahap kedua dilakukan dalam perjanjian Sykes Picot antara Inggris dan Perancis dengan dihadiri wakil dari Kaisar Rusia pada tahun 1916. Kemudian, proses pemecahan Kurdi berlanjut berdasarkan perjanjian Sevres tahun 1919 dan perjanjian Lausanne tahun 1923.
Dalam berbagai perjanjian tersebut dicapai pembagian final wilayah dan bangsa Kurdi, yaitu Kurdi Utara (Turki) yang memiliki wilayah terluas, yakni 194.000 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 13 juta jiwa; Kurdi Timur (Iran) yang memiliki wilayah terluas kedua, yakni 125.000 kilometer persegi dengan penduduk sekitar 8 juta jiwa; Kurdi Selatan (Irak) yang memiliki wilayah terluas ketiga, yakni 72.000 kilometer persegi dengan penduduk 6 juta jiwa; Kurdi Barat (Suriah) yang memiliki wilayah terluas keempat, yakni 18.000 kilometer persegi dengan penduduk 1 juta jiwa; dan Kurdi Armenia (bekas Uni Soviet) yang memiliki luas 18.000 kilometer persegi dengan penduduk 1 juta jiwa.
Tercabik-cabiknya wilayah Kurdi itu membuat pupusnya impian bangsa Kurdi memiliki negara sendiri.
Pemimpin Kurdi, Mustafa Barzani (1900-1979), sepanjang hidupnya dikenal berjuang bagi berdirinya negara Kurdi.
Memang di bawah pimpinan Mustafa Barzani sempat berdiri negara Kurdi, dengan nama negara Mahabad (tahun 1946) di wilayah Kurdistan Iran. Namun, eksistensi negara ini buyar.
Pembagian wilayah menjadi faktor penyebab terjadinya keretakan dalam struktur budaya dan politik bangsa Kurdi. Mereka berada di bawah sistem politik pemerintahan pusat yang memang beragama di negara-negara yang menjadi tempat keberadaan bangsa Kurdi itu.
Persoalan Timur
Oleh karena itu, meski sejarah politik Kurdi cukup tua, bangsa Kurdi termasuk bangsa yang kurang beruntung. Bahkan, Kurdi disebut sebagai bangsa tragis akibat karakter geografis, sentimen tribalisme, tirani, dan kolonialisme.
Tragedi bangsa Kurdi itu pun kemudian dikenal dengan nama "problem Timur". Ironinya, problem Kurdi sering kali dilupakan, diabaikan. Tidak ada pembelaan terhadap bangsa Kurdi, bahkan dijadikan komoditas politik kekuatan regional maupun internasional untuk tujuan politik tertentu.
Walau kartu Kurdi dipakai, sama sekali tanpa ada niat tulus dari siapa pun untuk mencari solusi yang adil soal eksistensi bangsa Kurdi. Karena itu, tidak heran jika Kurdi pun seperti duri dalam daging bagi setiap pemerintah pusat di negara-negara modern saat ini, seperti Turki, Irak, Iran, dan Suriah.
Negara-negara itu juga sepakat mencegah dengan segala cara berdirinya negara Kurdi yang berdaulat di mana pun. Negara-negara itu beralasan, jika Kurdi memiliki negara sendiri di salah satu wilayah negara tersebut, hal itu akan mengobarkan nasionalisme seluruh bangsa Kurdi. Selanjutnya, hal ini bisa membuyarkan kekuasaan mereka pada wilayah Kurdi di negara masing-masing.
Bahkan, ada kesepakatan tidak tertulis di antara Turki, Iran, Irak, dan Suriah untuk mencegah lahirnya negara Kurdi walau pada saat bersamaan mereka bisa menggunakan kartu Kurdi untuk mengganggu negara tetangga yang lain.
Misalnya, Iran atau Turki sering menggunakan kartu Kurdi Irak untuk menggoyang pemerintah pusat di Baghdad, dan demikian juga sebaliknya.
Sulit bersatu
Ada beberapa faktor yang membuat bangsa Kurdi terserak-serak dan gagal mewujudkan impian untuk memiliki negara sendiri. Pertama, kentalnya sentimen kesukuan yang membuat bangsa Kurdi tidak pernah bersatu secara kebangsaan. Hal ini menyebabkan sulitnya lahir seorang pemimpin Kurdi yang bisa menyatukan bangsanya. Walau memiliki satu identitas, yakni Kurdi, kelompok ini juga terbagi-bagi lagi ke dalam berbagai suku. Kedua, Kurdi menjadi korban kediktatoran pemerintah pusat di negara-negara di mana bangsa Kurdi berada menyusul pembagian pasca-Perang Dunia I. Ketiga, kolonialisme turut merobek-robek kesatuan bangsa Kurdi. Bahkan, kolonialisme memanfaatkan sentimen kesukuan di antara kelompok Kurdi untuk mengadu domba sesama bangsa Kurdi.
Para pemerintah diktator yang menaungi bangsa Kurdi itu, misalnya, tidak mengakui eksistensi bangsa Kurdi. Pemerintahan diktator itu juga menolak eksistensi bahasa Kurdi di negaranya.
Turki, Iran, dan Irak yang memiliki warga Kurdi dalam jumlah besar juga tidak mengakui keberadaan bangsa Kurdi di dalamnya. Pemerintahan di negara-negara tersebut bersikukuh hanya satu bangsa, budaya, dan bahasa di negara mereka.
Jika realitas sosial di negara-negara itu ada banyak budaya dan bahasa, maka yang diakui hanya satu dan yang lain harus disingkirkan. Kurdi selalu menjadi korban. Itulah realitas politik yang dihadapi bangsa Kurdi di Turki, Iran, Irak, dan Suriah.
Pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Ataturk, misalnya, menolak mengakui keberadaan bangsa Kurdi di Turki serta melarang bahasa Kurdi diajarkan di sekolah-sekolah. Ataturk menolak menyebut nama Kurdi dan menamakan bangsa Kurdi di Turki sebagai bangsa Turki pegunungan. Sensus penduduk di Turki sampai saat ini menjuluki kelompok yang ada di Turki sebagai Kurdi Turki pegunungan.
Saddam Hussein di Irak tidak kalah brutalnya dibandingkan dengan Kemal Ataturk. Saddam bahkan pernah melakukan aksi pembumihangusan atas 1.000 desa Kurdi dan menyebarkan penduduk desa-desa tersebut ke seluruh penjuru Irak.
Ada juga kasus pembantaian terhadap warga Kurdi di Halabjah, Irak, tahun 1988, dengan menggunakan bom kimia. Ini merupakan salah satu perbuatan terkeji Saddam Hussein terhadap warga Kurdi.
Darah Eropa di gunung, darah India di laut, menyatu di bangsa Kurdi
Suku Kurdi berasal dari rumpun bangsa Indo-Eropa. Mereka dikenal sebagai suku yang mendiami daerah pegunungan di perbatasan Iraq, Iran dan Turki sejak 8000 tahun yang lalu. Menurut Profesor Mehrdad R Izady, seorang pakar Kurdi dari Universitas Harvard, sejarah suku ini dapat dibagi menjadi 4 periode.
Pertama, periode Halaf (6000 SM sampai 5400 SM). Ini berdasarkan bukti-bukti arkeologis, seperti bentuk dan lukisan pada pot-pot kuno yang ditemukan di gunung Tell Halaf yang terletak di sebelah barat Qamishli (sekarang masuk wilayah Suriah).
Periode kedua (5300 - 4300 SM) disebut periode al-Ubaid, nama sebuah gunung di utara Iraq tempat ditemukannya banyak peninggalan kuno. Adalah penduduk Ubaid yang memberikan nama ‘Tigris’ dan ‘Euphrates’ untuk dua sungai utama di yang mengalir dari Kurdistan ke Mesopotamia. Mereka jugalah yang menurunkan suku Chaldean atau Khaldi.
Periode selanjutnya disebut zaman Hurri, dimana pusat kehidupan pindah ke kawasan pegunungan Zagros-Taurus-Pontus dengan beberapa kerajaan kecil: Arrap’ha, Melidi, Washukani dan Aratta. Sejumlah nama-nama kabilah (Bukhti, Tirikan, Bazyni, Bakran), sungai (Murad, Balik, Khabur), danau (Van) dan daerah (Mardin, Ziwiya, Dinawar) berasal dari zaman ini.
Periode berikutnya (mulai 2000 SM) diawali dengan kedatangan suku Hitti dan Mittani (Sindi) ke Kurdistan. Namun invasi besar-besaran bangsa Arya (Indo-Eropa) baru terjadi pada 1200 SM. Akibatnya, pada 727 SM, kerajaan Hurri terakhir, Mannaean, jatuh. Ini diikuti dengan munculnya kerajaan Medes dengan ibukota Ecbatana (sekarang Hamadan, Iran) yang bertahan hingga 549 SM. Kaum Medes inilah yang diakui oleh orang-orang Kurdi sekarang sebagai nenek-moyang mereka, sehingga transmitter televisi pertama mereka diberi nama “Med TV”.
Terakhir sekali adalah periode Semitik dan Turkik, menyusul interaksi mereka dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan Islam (Arab) serta asimilasi mereka dengan bangsa Turki (terbukti dengan adanya nama-nama kabilah seperti Karachul, Oghaz, Devalu, Karaqich, Iva, dan sebagainya).
Sebutan “Kurdi”
Catatan paling awal mengenai istilah Kurdi ditemukan dalam dokumen Raja Tiglath-Pileser I yang memerintah Assyria dari 1114 hingga 1076 SM. Disebutkan bahwa daerah “Qurti” di gunung Azu termasuk salah satu wilayah yang berhasil ditaklukkan oleh sang raja. Bagi orang Akkadian, sebutan “Kurti” digunakan untuk menunjuk mereka yang tinggal di kawasan pegunungan Zagros dan Taurus timur, sedangkan orang Babylonia menyebut mereka “Guti” dan “Kardu”. Sumber Yahudi, Talmud, beberapa kali menyebut tentang bangsa “Qarduim”.
Sementara itu, dalam catatan ekspedisinya pada tahun 401 SM, Xenophon menceritakan pertemuannya dengan orang-orang “Kardykhoi”. Ini diikuti oleh Polybius (130 SM) yang menyebut mereka “Kyrtioi”, dan Strabo (40 M) yang me-latin-kannya menjadi “Cyrtii”.
Menurut Profesor Izady, setidaknya sejak kurun pertama Masehi, istilah “Kurd” mulai umum dipakai untuk menyebut siapa saja yang mendiami wilayah pegunungan dari Hormuz hingga ke Anatolia. Adapun sejarawan Islam seperti ath-Thabari, al-Ya‘qubi, al-Mas‘udi dan Yaqut, mengakui keberadaan etnis Kurdi sama seperti etnis lainnya (Arab, Parsi, Turki, dan sebagainya).
Bahasa, Sub-suku dan Kehidupan
Di zaman pra-Islam, orang Kurdi menggunakan bahasa Pahlavi, bahasa Parsi kuno yang masih serumpun dengan Sanksekerta dan bahasa-bahasa Eropa. Setelah kedatangan Islam dan invasi nomad Turki, orang-orang Kurdi mulai menggunakan dialek suku Kurmanj, sebuah kabilah energetik dari dataran tinggi Hakkari yang berhasil membendung pengaruh Turki di Kurdistan. Begitu kuatnya pengaruh suku Kurmanj hingga mayoritas orang Kurdi masih banyak yang menyebut diri mereka “Kurmanj” dan bahasa mereka “Kurmanji”. Adapun sekarang ini, terdapat dua dialek utama dalam bahasa Kurdi: pertama, Kurmanji, dan kedua, Sorani (atau sering juga disebut “Kurdi”). Sub-dialeknya antara lain: Kirmanshah, Leki, Gurani dan (Dimili) Zaza.
Mengenai sub-suku, sejarawan Kurdi Syarafuddin Bitlisi (w. 1597 M) menyatakan dalam kitabnya Sharafnamah (Mukadimah 7-9) bahwa bangsa Kurdi terbagi empat, masing-masing mempunyai dialek dan adat-istiadat sendiri, yakni Kurmanj, Lur, Kalhur, dan Guran.
Seperti layaknya penduduk pegunungan, suku Kurdi hidup menetap dengan mata pencaharian pertanian dan peternakan. Namun setelah invasi bangsa Arya dan Turki ke wilayah mereka, sebagian mereka memilih cara hidup nomad (berpindah-pindah).
Sejak berakhirnya Perang Dunia Pertama, dan menyusul pengkhianatan Kemal Ataturk terhadap Perjanjian Sevres (1920), suku Kurdi mengalami diaspora (penyebaran), penindasan dan mendapatkan banyak tekanan di tanah tumpah darahnya sendiri yang kaya dengan minyak bumi dan mineral (chromium, tembaga, besi dan batubara). Lebih 20 juta orang Kurdi terpaksa tinggal di beberapa negara berbeda. Tidak kurang dari 10 juta orang Kurdi terdapat di Turki; sementara di Iraq terdapat lebih dari 5 juta orang; di Iran sekitar 6 juta orang; dan di Suriah 1 juta lebih. Tidak sedikit juga yang telah hijrah dan menetap di Eropa, Amerika dan Australia.
Agama dan Tradisi Keilmuan
Jauh sebelum masuknya Islam, suku Kurdi menganut agama-agama Parsi kuno seperti Zoroaster, Mithraisme, Manichaeisme dan Mazdak. Beberapa kuil penyembahan api peninggalan zaman itu masih terdapat sampai sekarang, antara lain di Ganzak (Takab), Bijar. Mereka juga sempat dipengaruhi oleh ajaran Yahudi dan Nasrani. Namun demikian, pengaruh agama-agama tersebut hampir semuanya terkikis habis dengan datangnya Islam di abad ke-7 Masehi. Patut dicatat, Kurdistan terletak tidak jauh (hanya 50 mil) dari Baghdad dan 200 mil saja dari Damaskus; keduanya merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, dan keilmuan di kurun-kurun pertama Hijriah.
Karena itu tidak mengherankan jika saat ini mayoritas orang Kurdi (60 %), terutama yang berbahasa Kurmanji, adalah pemeluk Islam Sunni yang bermazhab Syafi‘i. Sebagian kecil (sekitar 1 juta orang) menganut Islam Shi‘ah, khususnya yang tinggal di Kirmanshah, Kangawar, Hamadan, Qurva dan Bijar di selatan dan timur Kurdistan (bagian Iran), serta mereka yang tinggal di Malatya, Adiyaman dan Maras di barat Kurdistan (bagian Turkey).
Sebagaimana minoritas Arab Suriah, golongan Syi‘ah Kurdi umumnya adalah pengikut aliran Alevi (atau ‘Alawi). Istilah “Alevi” bagi mereka punya konotasi ganda: pertama, sebagai pengikut Sayyidina ‘Ali ra dan, kedua, sebagai penyembah api atau penganut Zoroaster (dari kata alev yang berarti api). Kaum Alevi percaya bahwa Ali adalah manifestasi atau perwujudan (avatar) Roh Jagad Raya pada Babak Kedua dari Kehidupan Semesta, seperti dalam ajaran Yarshan. Di samping mengagungkan api dan cahaya, penganut Alevi biasanya bersujud menyembah matahari terbit dan bulan, sambil melantunkan tembang-tembang tertentu.
Mereka juga mengadakan pertemuan rutin yang disebut Ayini Jam. Aliran ini sempat dilarang keras dan diberantas di zaman Daulat Usmaniyah, terutama di masa pemerintahan Sultan Salim sekitar tahun 1514. Sempalan lainnya adalah Nushayriyyah, yang mengagung-agungkan Salman al-Farisi (sahabat Nabi) dan menobatkannya sebagai avatar nomor satu.
Bangsa Kurdi terkenal berani, kuat dan gigih. Mereka banyak berperan dalam menyebarkan dan membela Islam. Tidak sedikit tokoh-tokoh agama (ulama), pemimpin dan pejuang Islam yang notabene adalah suku Kurdi. Sebut saja, misalnya, Ibn Khallikan (w. 681 H/ 1282 M, sejarawan, pengarang kitab Wafayat al-A‘yan ), ‘Syaikh al-Islam’ Ibn Taymiyyah (w. 728 H/ 1328 M), Ibn al-Atsir (w. 630 H/ 1232 M, pengarang Usud al-Ghabah, Ibn Qutaybah al-Dinawari (w. 276 H/ 889 M, pengarang kitabTa’wil Musykil al-Qur’an), Ibn ash-Shalah as-Syahrazuri (w. 634 H/ 1236 M, pakar ilmu hadis yang terkenal dengan Muqaddimah-nya), Syaikh Ibrahim al-Gurani (pengarang kitab Ithaf adz-Dzakiyy), Badi’uz-Zaman al-Hamadani (w. 1007 M, pengarang kitab Al-Maqamat), dan Shalahuddin al-Ayyubi, panglima perang dan pahlawan Islam dalam Perang Salib yang berhasil merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan orang-orang Kristen.*
Bangsa Tanpa Negara.
Sebidang tanah merdeka di sebelah utara Iraq, itulah yang dijanjikan armada teror Bush dan Blair kepada bangsa Kurdi. Syaratnya, mereka membantu keduanya mengerubuti Iraq. Selain janji menggiurkan itu, menghancurkan rezim Saddam merupakan warisan dendam masa lalu. Diktator Iraq itu pernah membantai lebih dari seribu bangsa Kurdi tahun 1982. Ironisnya, senjata kimia yang digunakan Saddam kala itu dipasok Amerika lewat tangan Donald Rumsfeld, kini menteri pertahanan AS yang waktu itu orang penting dalam pemerintahan Ronald Reagan.
Di mata dunia, Kurdi adalah potret etnis yang malang. Mereka tercerai-berai di seantero empat negara berbeda: Turki, Suriah, Iraq dan Iran. Sedihnya lagi, karena minoritas di keempat negara itu, sering kali kepentingan bangsa Kurdi diabaikan oleh pemerintah masing-masing negara tempat mereka berdiam. Akibatnya gampang ditebak, mereka ingin memisahkan diri dari negara induk masing-masing lalu mendirikan negara Kurdi
Tentu saja keinginan mereka, yang dinilai sebagai gerakan separatisme, segera ditentang oleh pemerintah masing-masing negara. Bahkan tidak hanya ditentang, tetapi juga ditumpas. Itulah yang menyebabkan Saddam membumihangus kawasan utara yang didiami Kurdi. Amerika dan koalisinyamembuat aturan zona larangan terbang di langit Iraq kawasan ini.
Alhasil, di masa kini suku Kurdi tergolong sebagai suku bangsa yang tertindas di negeri sendiri. Padahal, kalau melihat catatan sejarah Islam, akan kita temukan adanya pahlawan besar Islam yang bernama Shalahudin Al-Ayubi yang notabene beretnis Kurdi. Juga ada Ibnu Taimiyah, ulama besar yang kesohor dari suku Kurdi.
Dengan kata lain salah seorang anak suku Kurdi pernah menjadi orang yang sangat berjasa pada dunia Islam. Namun kini anak keturunan Shalahudin dan Ibnu Taimiyah bernasib malang, ditindas di negeri-negeri berpenduduk mayoritas Islam di Timur Tengah.
Kenapa etnis yang melahirkan pahlawan Islam itu dan ulama besar itu senantiasa terpinggirkan dan tertindas di negeri mereka sendiri? Dan siapakah gerangan suku Kurdi itu, apakah mereka tidak satu rumpun dengan bangsa Arab, Turki atau Parsi?
SHALAHUDDIN AL-AYYUBI
Dicintai kawan, disegani lawan, memenangkan perang besar dengan cara elegan. Putera Kurdi yang selalu jadi inspirasi Shalahuddin Al-Ayyubi dilahirkan pada tahun 532 H/ 1138 M di Tikrit, sebuah wilayah Kurdi di utara Iraq. Shalahuddin adalah gelarnya, sedangkan al-Ayyubi nisbah keluarganya. Adapun nama sebenarnya ialah Yusuf bin Najmuddin. Pada usia 14 tahun Shalahuddin ikut kaum kerabatnya ke Damaskus, menjadi tentara Sultan Nuruddin, penguasa Suriah waktu itu.
Pangkatnya naik setelah tentara Zangi yang dipimpin oleh pamannya sendiri, Shirkuh, berhasil memukul mundur pasukan Salib (crusaders) dari perbatasan Mesir dalam serangkaian pertempuran. Pada tahun 1169 Shalahuddin diangkat menjadi Panglima dan Gubernur (wazir) menggantikan pamannya yang wafat. Setelah berhasil mengadakan pemulihan dan penataan kembali sistem perekonomian dan pertahanan Mesir, Shalahuddin mulai menyusun strateginya untuk membebaskan Baitul Maqdis dari cengkeraman tentara Salib. Pada bulan September 1174, Shalahuddin menekan penguasa Dinasti Fatimiyyah supaya tunduk dan patuh pada Khalifah Daulat Abbasiyyah di Baghdad. Tiga tahun kemudian, sesudah kematian Sultan Nuruddin, Shalahuddin melebarkan sayap kekuasaannya ke Suriah dan utara Mesopotamia. Satu persatu wilayah penting berhasil dikuasinya: Damaskus (pada tahun 1174), Aleppo atau Halb (1138) dan Mosul (1186). Sebagaimana diketahui, berkat perjanjian yang ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dan Uskup Sophronius menyusul jatuhnya Antioch, Damascus, dan Yerusalem pada tahun 636 M, orang-orang Islam, Yahudi dan Nasrani hidup rukun dan damai di Suriah dan Palestina. Mereka bebas dan aman menjalankan ajaran agama masing-masing di kota suci tersebut.
Perang Salib.
Namun kerukunan yang telah berlangsung selama lebih 460 tahun itu kemudian porak-poranda akibat berbagai hasutan dan fitnah yang digembar-gemborkan oleh seorang patriarch bernama Ermite. Provokator ini berhasil mengobarkan semangat Paus Urbanus yang lantas mengirim ratusan ribu orang ke Yerusalem untuk Perang Salib Pertama. Kota suci ini berhasil mereka rebut pada tahun 1099. Ratusan ribu orang Islam dibunuh dengan kejam dan biadab, sebagaimana mereka akui sendiri: “In Solomon’s Porch and in his temple, our men rode in the blood of the Saracens up to the knees of their horses”. Menyadari betapa pentingnya kedudukan Baitul Maqdis bagi ummat Islam dan mendengar kezaliman orang-orang Kristen di sana, maka pada tahun 1187 Shalahuddin memimpin serangan ke Yerusalem. Orang Kristen mencatatnya sebagai Perang Salib ke-2. Pasukan Shalahuddin berhasil mengalahkan tentara Kristen dalam sebuah pertempuran sengit di Hittin, Galilee pada 4 July 1187. Dua bulan kemudian (Oktober tahun yang sama), Baitul Maqdis berhasil direbut kembali. Berita jatuhnya Yerusalem menggegerkan seluruh dunia Kristen dan Eropa khususnya. Pada tahun 1189 tentara Kristen melancarkan serangan balik (Perang Salib ke-3), dipimpin langsung oleh Kaisar Jerman Frederick Barbarossa, Raja Perancis Philip Augustus dan Raja Inggris Richard ‘the Lion Heart’. Perang berlangsung cukup lama. Baitul Maqdis berhasil dipertahankan, dan gencatan senjata akhirnya disepakati oleh kedua-belah pihak. Pada tahun 1192 Shalahuddin dan Raja Richard menandatangani perjanjian damai yang isinya membagi wilayah Palestina menjadi dua: daerah pesisir Laut Tengah bagi orang Kristen, sedangkan daerah perkotaan untuk orang Islam; namun demikian kedua-belah pihak boleh berkunjung ke daerah lain dengan aman. Setahun kemudian, tepatnya pada 4 Maret 1193, Shalahuddin menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ketika meninggal dunia di Damaskus, Shalahuddin tidak memiliki harta benda yang berarti, namun namanya harum terukir dalam sejarah dan jasanya dikenang sepanjang zaman.
Parcel untuk Musuh. Banyak kisah-kisah unik dan menarik seputar Shalahuddin al-Ayyubi yang layak dijadikan teladan, terutama sikap ksatria dan kemuliaan hatinya. Di tengah suasana perang, ia berkali-kali mengirimkan es dan buah-buahan untuk Raja Richard yang saat itu jatuh sakit. Ketika menaklukkan Kairo, ia tidak serta-merta mengusir keluarga Dinasti Fatimiyyah dari istana-istana mereka. Ia menunggu sampai raja mereka wafat, baru kemudian anggota keluarganya diantar ke tempat pengasingan mereka.
Gerbang kota tempat benteng istana dibuka untuk umum. Rakyat dibolehkan tinggal di kawasan yang dahulunya khusus untuk para bangsawan Bani Fatimiyyah. Di Kairo, ia bukan hanya membangun masjid dan benteng, tapi juga sekolah, rumah-sakit dan bahkan gereja.
Shalahuddin juga dikenal sebagai orang yang saleh dan wara‘. Ia tidak pernah meninggalkan shalat fardu dan gemar shalat berjamaah. Bahkan ketika sakit keras pun ia tetap berpuasa, walaupun dokter menasihatinya supaya berbuka. “Aku tidak tahu bila ajal akan menemuiku,” katanya. Shalahuddin amat dekat dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Ia menetapkan hari Senin dan Selasa sebagai waktu tatap muka dan menerima siapa saja yang memerlukan bantuannya. Ia tidak nepotis atau pilih kasih. Pernah seorang lelaki mengadukan perihal keponakannya, Taqiyyuddin. Shalahuddin langsung memanggil anak saudaranya itu untuk dimintai keterangan.
Pernah juga suatu kali ada yang membuat tuduhan kepadanya. Walaupun tuduhan tersebut terbukti tidak berasas sama sekali, Shalahuddin tidak marah. Ia bahkan menghadiahkan orang yang menuduhnya itu sehelai jubah dan beberapa pemberian lain. Ia memang gemar menyedekahkan apa saja yang dimilikinya dan memberikan hadiah kepada orang lain, khususnya tamu-tamunya.
Ia juga dikenal sangat lembut hati, bahkan kepada pelayannya sekalipun. Pernah ketika ia sangat kehausan dan minta dibawakan segelas air, pembantunya menyuguhkan air yang agak panas. Tanpa menunjukkan kemarahan ia terus meminumnya. Kezuhudan Shalahuddin tertuang dalam ucapannya yang selalu dikenang: “Ada orang yang baginya uang dan debu sama saja.”*
Habis Berjuang Sepah Dibuang
Maksud hati hendak merdeka dengan bantuan pihak ketiga. Bukannya mendapat manfaat, Bangsa Kurdi malah sering ditunggangi
Perjuangan bangsa Kurdi memperoleh tanah airnya sendiri adalah cerita konflik etnis terlama di kawasan Timur Tengah, di samping Palestina. Perjuangan itu sudah dimulai sejak abad ke-19. Bahkan problem yang dihadapi Kurdi lebih sulit.
Pertama, jika rakyat Palestina hanya dihadapkan pada satu negara musuh, Israel, maka kaum Kurdi berbenturan dengan beberapa negara khususnya Iraq, Turki, serta Iran.
Kedua, jika perjuangan Palestina secara moral mendapat sokongan dari banyak negara, terutama negara Islam, maka gaung dukungan bagi Kurdi sangat lirih. Alasannya, problema Kurdi sama sekali minus dari solidaritas agama, mengingat yang dihadapi adalah kelompok seagama, di samping perjuangan mereka sepi dari jargon-jargon agama.
Ketiga, kendati menurut catatan antropologis, Kurdi merupakan etnis yang relatif tua usia, namun kesadaran terhadap wilayah baru muncul belakangan, bahkan sangat terlambat. Entitas Kurdi setidaknya telah dimulai sejak dua ribu tahun sebelum masehi. Mereka memang punya kesadaran etnis, tapi tidak mempunyai kesadaran kewilayahan, sebagai konsekwensi kultur tradisional nomaden, yang hidup berpindah-pindah dari Turki dan Iran ke lembah Mesopotamia sambil menggembala ternak dan bertani.
Pasca Perang Dunia I, ketika negara-negara mulai menetapkan garis perbatasan, barulah kesadaran wilayah kaum Kurdi muncul, terutama karena terdesak dan terpaksa meninggalkan pola hidup tradisionalnya, serta mulai menetap di berbagai pemukiman.
Daerah Penyangga.
Sayangnya kesadaran kewilayahan kaum Kurdi ini sangat terlambat. Sebab, Kurdistan sudah terlanjur tersayat-sayat menjadi 5 kepingan yang terintegrasi dalam negara Turki, Iraq, Iran juga Suriah dan mendiang Soviet. Inilah perbedaan asasi masalah Kurdi dari problema Palestina. Jika kaum Palestina sejak awal sudah memiliki tanah air, yang akhirnya dicaplok Israel, maka secara historis kaum Kurdi dapat dikatakan tak memiliki kesadaran, apalagi realitas sebuah tanah air.
Dunia akhirnya mencatat, entitas Kurdi kendati dalam sejarah peradaban manusia dikenal sebagai komunitas besar, punya bahasa dan budaya spesifik, tinggal di seputar daerah tertentu wilayah Kurdistan, yang sekarang tercabik dalam 5 negara namun sampai kini tak pernah memiliki negara. Bahkan, secara historis pula daerah mereka selalu dijadikan buffer-zone (daerah penyangga) beberapa negara bertetangga yang saling menguasai sebagian wilayah yang dihuni kaum Kurdi. Dahulu, Kurdi dijadikan buffer-zone Persia (Iran Pra Islam) dan Romawi Timur (Bizantium), berikutnya antara Iran dan Turki Utsamani.
Belakangan, wilayah Kurdi kebali menjadi buffer-zone 5 negara yang menguasainya, serta menjadikan kaum Kurdi sebagai monoritas di Iraq, Iran, Turki, Suriah dan mendiang Soviet sebagai alat kepentingan politik mereka. Isu Kurdi saling dijadikan komoditas tawar dalam permusuhan antar mereka.
Posting Komentar