this is not a war. this is terrorism. this is genocide. this is murder….!!!

kepada gadis palestin itu kuserahkan bunga
ia terlalu tenggelam dalam perasaan yang megah
pipinya merah dadu
kepada gadis palestin itu kuserahkan mahkota
matanya mengandung cahaya
itu api harapan yang sengaja dinyalakan
tapi cinta tetap tumbuh
inilah perang – seperti cerita keseharian – yang tak pernah diumumkan
telah habis halaman untuk menuliskan nama-nama
: jumlah korban tak terjumlahkan
bayi-bayi dilahirkan
di bawah hujan abu
mesiu
disematkan pada mereka:
nama
yang selalu ingin mengelak sebagai
sarang peluru
anak-anak kita dibesarkan
pada lengkung tahun yang muram
seperti bendera yang dikibarkan
hanya separuh gagah, di setengah tiang
melalui gambar rajah
di tangan yang kelak bersimbah darah
mereka belajar membaca peta buta
yang tidak pernah kekal
batasnya
angin gurun selalu menghapus
jejak dan gugus
dengan kelopak hangus
jiwa yang terluka
orang-orang ditahbiskan
menjadi pahlawan
pada genangan dendam
karena perang ini – seperti sebuah rutin – tak
pernah diumumkan
bahkan pada beranda rumah
tempat kalian selalu berkemah
kami selalu berbondong dalam kubah rasa takut, juga
cemeti yang rajin melecut, berjalan lurus menuju plaza
tanah perjanjian itu.
kami selalu memaklumi diri sebagai
prajurit dengan pemimpin sebayang impian untuk sampai
pada jalan keselamatan,
darussalam yang tak pernah diketahui
titik bujur dan lintangnya dalam perjalanan hidup kami.
kami selalu menjadi hikayat sebelum dilahirkan, dan tak
terbaca lagi nama kami setelah kematian. kami adalah sebuah
garis takdir yang beredar pada orbit di luar peradaban, bermandi
debu dan darah, bermain peluru dan granat, yang kisahnya
senantiasa dibaca penuh hikmat oleh hampir seluruh umat,
dielu-elukan dalam puisi yang gemetar, meski mereka hanya
melihat secara samar-samar
mungkin di jejak pendahulu kami ini ada sisa sujud untuk
diteruskan.
perjalanan tak putus pandangan adalah shaf-shaf gaib yang
gema suara imamnya terlampau lirih untuk dicatat
pada buku perdamaian.
mereka belum sempat mendengar jelas
untuk menuliskan maklumat, terburu tinta itu kesat
kota itu, entah apa namanya, telah mengubur dirinya
dalam timbunan jenazah kami........
bocah-bocah kecil itu
berlari, melompat, dan menyerbu
lihat kawan..
beradu dengan bom dan peluru
hanya dengan batu-batu
bocah-bocah kecil itu
menerjang tiada gentar
memburu tiada ragu
ia bukan di negeri khayalan
ia ada di sana, palestina
tak ada paksaan untuk bergerak
tak ada pula hadiah pengganti luka
ia hanya inginkan surga
dan bumi palestina merdeka
jangan tanya kapan ia akan berhenti
jangan tunggu kapan ia akan mengeluh
karna ia akan selalu kembali
untuk bebaskan tanah suci
karna akan selalu terdengar
lemparan batu dan teriakan allahu akbar
siapa bilang ia kalah?
bahkan lawan pun ketakutan
siapa bilang ia salah?
bahkan langitpun memujinya
akan selalu ada Allah bersamanya
menemani hari-harinya, desah nafasnya, di relung hatinya...
berbagai wajah wajah bertopeng gentayangan
dalam pesta pesta diplomasi peperangan
dalam ragam macam peran
yang pangeran pangeran
yang raja raja
yang presiden presiden
yang menteri menteri
dan ragam macam lagi
para penggenggam ragam kekuasaan
pesta pesta diplomasi peperangan silih ganti
teriring teriak tangis yang terluka yang mati
sampai kapan tragedi ini bisa terhenti?
“kutulis syair ini dengan darah,
ketika malam berganti tapi tetap saja gaduh oleh suara senapan.
ku tulis syair ini dengan darah,
ketika pagi datang tapi tak hentinya rudal itu menggema di seantero jagat.
kutulis syair ini dengan darah,
ketika seliter minyak lebih berharga dari segumpal darah.
kutulis syair ini dengan darah,
ketika takbir berganti dengan jerit tangis ketakutan.
kutulis syair ini dengan darah,
ketika anak2 tak bisa lagi tertawa dalam pelukan ibunya.
kutulis syair ini dengan darah,
sampai darah ini tak lagi memerah…
dalam sebuah layar kaca, hatiku bertanya
apakah keadilan itu perlu diabaikan
sekelompok manusia, laki-laki, perempuan
bahkan beberapa anak kecil
bertengger di perut ibunya
terduduk di atas genangan air mata
aku tidak mengutip kilasan berita yang jarang dinikmati,
tapi lihatlah, beberapa orang terkelupas kulitnya
beberapa lainnya mengelupas kulit punggung penderitaan
sambil mengelupas luka-luka kemarin sore
peluru yang ditembakkan ke udara
adalah gambaran nasib-nasib mereka
segumpal darah membeku, sumber perdamaian
di antara jerit hati,
isak tangis dan retakan tanah kelahiran
perjanjian tercipta dari keserakahan kata
penderitaan hidup mengkristal pada puncak
energi perjuangan. sebuah bendungan tebal kokoh
dan bom-bom waktu yang ingin meledakkan diri
belum juga sungai-sungai yang mengalirkan darah
ke muara-muara sunyi jauh penjuru semesta
akan mengeras. seperti ombak
yang senantiasa digarami waktu
di lembah negara-negara yang masih perawan
mereka menanggalkan jubah dan status, merangkai, menyambung, menjahit dan merajut kulit penderitaan, menjadi hiasan ornamen kehidupan
darah yang keluar menetes perlahan
ketika jarum jam mengeratkan
mereka oleskan untuk menghitung angka-angka
usia ketidakmapanan
tercium anyir darah dan bau lumpur tercemar amis
tapi kanpankah tanah kelahiran akan kembali
tak jumpai jawaban berarti
hanya danau airmata menggenang
palestina,
negeri sempit, pendudukmu bagai angsa-angsa putih,
dan sebuah nilai perjuangan berkobar di atas jantungmu
belum juga ada kedamaian atau kemerdekaan berdentang
yang ada hanya mereka dengan kata-kata zionism-nya
menoreh darah derita pada permukaan pasir suci
hanya kau, palestina, dengan sebutir peluru di dada
menghirup nafaspun sesak,
letusan dan kedamaian beku
masya Allah,
berpuluh tahun para peserakah datang dan pergi
mengumbar angkara
perang, puing-puing, mayat-mayat, bangkai berserakan
sebuah perjanjian tak berarti akan selesaikan nasibnya
di belantara negeri yang sedang terbakar
pion-pion perdamaian kini tak lagi berpacu
sementara anjing zionis menyalak berdalih
dan pioner itupun menundukkan kepala
di atas bukit pyramid
dengan teriakan melengking seperti jeritanmu
yang diberondong seribu peluru
palestina,
adalah bukti kekusutan pikiran logika kita
adalah keangkuhan dan ketakberdayaan kita
adalah nurani keimanan kita yang terkoyak
adalah kepanikan manusia atas diri sendiri,
dibodohi, diingkari, dinodai
di atas selembar perjanjian tak berujung
akupun memandang pada kita yang berperasaan tolol dan tidak jelas ejaannya, namun aku juga melihat wajah mereka sedemikian polosnya, tidak tampak bahagia, juga bergelimang putus asa
hatiku berkecamuk ketika kudengar mulut-mulut peserakah berkoar
sehingga paha mulus zionis sekarang
menantangku berkelahi
di tanah gaza yang terbangun
oleh benteng-benteng kemurkaan
ya Allah,
di ujung pernyataan ini,
kukatakan bahwa kau sangat diplomatis
karena kau pulalah yang dulu mengilhami
dan mengajarkan dialektika
pada kaum-kaum perusak perdamaian
dalam permainan selembar kulit kertas
tereja mulut cincin
namun sesungguhnya, mereka sekedar ingin belajar mengerjakan apa yang tidak kau sukai serta meninggalkan apa yang kau sukai
dalam tujuan apa, aku masih belajar mencari tahu
tapi … dalam jalan-Mu yang penuh lorong panjang
di situlah keadilan-Mu bertitel Maha Bertahta
kau janjikan status Maha Pemurah dan Maha Keadilan.
Posting Komentar