Rabu, 12 November 2008

MEREKA MENJADI GILA & PARANOID BERHADAPAN DENGAN ISLAM

Stigmatisasi terhadap jihad ini bermetamorfosis menjadi paranoid global tatkala kalangan orientalis Barat mulai mengisukan menguatnya gejala-gejala kebangkitan Islam yang diusung oleh pelbagai gerakan Islam dengan pola-pola yang lebih sistemik dan terorganisir. Salah satu sarjana Barat yang paling bertanggung jawab dalam upaya ini adalah Bernard Lewis. Dalam salah satu karyanya, The Return of Islam (1964), Lewis telah mengekspos adanya fenomena kebangkitan Islam yang pada gilirannya menggelorakan istilah “benturan peradaban” (clash of civilization), bukannya Samuel P. Huntington. Dalam dua karyanya yang terkahir, What Went Wrong? Western Impact and Middle Eastern Response (2002) dan The Crisis of Islam: Holy War and Unholy War (2003), Lewis kembali mengembangkan penyesatan dengan menyorot akar sejarah kebencian kaum Muslim dalam persinggungannya dengan Eropa modern yang kerap diekspresikan dengan aksi-aksi terorisme dan peneguhan identitas Islam Politik yang kemudian menjadi fresh blood bagi kebangunan kelompok Islam militan. Di sini, Lewis mengklaim bahwa semua hal tersebut tampil disemangati panggilan jihad.

Sebelumnya, Hamilton Gibb relatif berhasil “meramal” terjadinya transformasi diskursus (fikrah) kebangkitan Islam menjadi sebuah gerakan (harakah) yang bekerja pada semua lini kehidupan umat Islam. Menarik mengutip komentar Gibb bahwa bukunya Pemikiran Islam Modern (1930) harus terbit dua tahun setelah berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin (1928). Dua tahun, bagi Gibb, bukanlah waktu yang cukup untuk mempelajari gerakan tersebut. Tapi Gibb tetap menyampaikan kecemasannya bahwa suatu saat gerakan itu akan menjadi ancaman bagi Barat.

Gibb sangat paham bahwa sang maestro Ikhwanul Muslimin, Hasan al-Banna, berhasil memelopori menancapkan jihad sebagai napas kehidupan umat Islam guna meraih kebesarannya. Rekomendasi Gibb kemudian ditindaklanjuti dengan menugaskan dinas intelijen Inggris guna mempelajari gerakan Ikhwanul Muslimin.

Paranoid pihak Barat terhadap jihad ternyata tidak mengamputasi eksistensi Islam. Pada satu sisi, ia justru mengkristal sebagai stimulan-stimulan dalam tubuh umat Islam guna melakukan terobosan dan percepatan, sebentuk blessing in disguise. Seperti terlacak pada lompatan jihad intelektual masif lewat barisan para ideolog, pemikir strategi, dan pembaharu Muslim yang produktif.

Tekanan isolasi Barat terhadap gerakan Islam dengan dalih “teror jihad” guna memutuskan siklus terorisme internasional justru menggerakkan terwujudnya model “jihad intelektual.” Walau belum ada satupun kekuatan gerakan Islam yang mampu menguasai sebuah negara dan merealisasiakan cita-cita politiknya, kenyataan menunjukkan bahwa “pustaka dunia Islam” dipenuhi oleh para pemikir dari gerakan Islam. Lihat saja karya-karya Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Muhammad al-Ghazali, Yusuf al-Qaradhawi, al-Mawdudi, atau al-Nadawi. Mereka menjadi referensi dalam dunia pemikiran Islam. Bahkan, mereka kemudian menjadi representasi peradaban Islam modern, yang dari sana Barat memahami gejolak kebangkitan dan dinamika pemikiran Dunia Islam.

Pada sisi lain, paranoid pihak Barat terhadap jihad berdampak eskalasi serangan terhadap pelbagai kepentingan Barat, terutama Amerika Serikat. Kebencian atau serangan tidak pernah menimbulkan kedamaian, sebaliknya memproduksi ketakutan dalam jumlah yang lebih tinggi. Sejarah Amerika Serikat memberi cahaya terang dalam masalah ini. Dari serangan bom Hiroshima dan Nagasaki, Vietnam dan kini Irak kian terlihat bahwa energi-energi ketakutan meningkat pesat di saat tabungan serangan ke orang lain makin bertambah. Semakin banyak pihak yang diserang, semakin banyak pula pihak yang akan menyerang balik.

Demikian juga terhadap organisasi atau jaringan yang sering dituduh oleh Amerika dan sekutunya melakukan aksi teror semacam Al Qaidah atau Hamas di Palestina. Mereka menjalankan pilihan aksi dalam perjuangan mereka dengan cara kekerasan dengan maksud untuk sedikit mengimbangi teror Amerika yang dilakukan secara sistematis dan dalam skala yang sangat besar. Hamas melakukan aksi-aksi dengan menggunakan cara kekerasan adalah sebagai bentuk perlawanan yang harus dilakukan ketika tentara zionis Israel melakukan arogansi dengan menggunakan cara kekerasan yang sangat tidak bisa ditolerir lagi.

Mereka membantai rakyat muslim Palestina dan atau mengusirnya dari tanah-tanah mereka untuk kemudian menguasai tanah tersebut sebagai miliknya. Di sisi lain lembaga-lembaga dunia yang menyatakan dirinya sebagai “mengurusi masalah-masalah kemanusiaan” tidak ada yang bergerak secara nyata sedikitpun untuk rakyat Palestina.

Sudah teramat banyak kasus yang dapat kita inventarisir untuk menggambarkan betapa parahnya paranoid yang telah diderita oleh Amerika dan sekutu-sekutunya, yang kini virusnya juga telah ditularkan secara paksa ke seluruh dunia.

Dari banyak gambaran kasus di atas, nyatalah bahwa Amerika dan sekutunya menggunakan cara-cara teror untuk menghadapi bahaya yang sebenarnya mereka ciptakan dalam pikiran mereka sendiri, yang mereka tafsirkan sebagai teroris.

Tapi keparanoidan Amerika sebetulnya tidak terlalu menjadi masalah ketika efeknya hanya untuk mereka sendiri. Yang parah adalah ketika mereka memaksakan hal ini sebagai virus yang harus menjangkiti seluruh manusia di dunia. Yang lebih berbahaya adalah ketika kendali atas pikiran dan mental dari seluruh penduduk dunia diarahkan untuk menjalankan agenda-agenda busuk mereka untuk menguasai dunia melalui teror secara sistematis dan komprehensif. Sehingga yang terjadi adalah “teroris teriak teroris”

Sangat banyak catatan sejarah yang dapat membuktikan arogansi Amerika yang “mau menang sendiri", seperti yang ditulis oleh Gert Krell dalam Die Rolle der USA in der Aktuellen Weltkrise 2002, bahwa “ingin menang sendiri” adalah sesuatu yang melekat pada negara adidaya itu. Tak mengherankan, jargon yang dipakai AS dalam memerangi terorisme pun sangat terkesan sombong. Ironisnya, dalam banyak hal, jargon itu mirip dengan jargon kelompok-kelompok atau negara-negara yang dituduh berada di balik aksi-aksi teror melawan AS. Misalnya, jargon “perang antara yang baik dan buruk”, “antara yang tak berdosa dan setan”, antara peradaban dan primitif”.

Sebagai kekuatan hegemonik, Barat, dalam hal ini AS, memang tidak mau disaingi. Ia ingin menjadi kekuatan tunggal.

Berbagai intervensi AS dilakukan dalam rangka memelihara hegemoni atas dunia internasional, dengan memperluas hegemoni politik, ekonomi, dan militer seluas mungkin di muka bumi, dan untuk mencegah munculnya kekuatan regional yang dapat menandingi supremasi AS, serta menciptakan satu tatanan internasional dalam citra Amerika sebagai satu-satunya superpower.

Semua fakta itu menunjukkan bahwa selama ini pihak AS sebagai MANTEL ZIONIS tidak menganggap penting adanya dialog dengan dunia Islam.

Dialog hanyalah basa-basi, karena aspirasi dunia Islam tidak didengar.

Kita sudah paham sikap Barat itu, khususnya AS. MARI KITA PERSIAPKAN DIRI KITA UNTUK PERANG BESAR...!!!

Posting Komentar