Sabtu, 29 Maret 2008

DEPEER

(Ketika tulisan ini disusun, ada beberapa anggota DPR disalah satu kamar hotel berbagi uang-uang segar, dari orang-orang yang berkepentingan lahirnya suatu Undang-Undang yang dapat memenuhi keserakahan)

Di negeri yang katanya demokratis ini, kritik dianggap sesuatu yang melanggar kesopanan. Merusak ketenteraman dan menambah masalah di tengah himpitan persoalan bangsa yang tak kunjung usai. Atas nama stabilitas dan “kepentingan bersama”, pemerintah dan pemodal menganggap para pengkritik layaknya pengganggu. Media seringkali turut menambah kuatnya keinginan pemerintah dan pemodal. Aksi kritik menempel poster diberitakan sebagai aksi yang hanya mengotori tembok. Aksi turun ke jalan adalah hal yang sia-sia dan justru membuat lalu lintas macet, mobilitas terganggu dan perekonomian terhambat.

(Ketika ini dituliskan, ada sekumpulan anak-anak bangsa ini yg sekarat meregang nyawa karena kelaparan)

Televisi hanya menyiarkan propaganda “kritik” sarat dengan retorika2 anggota legislative yang memuakkan, sebagai bentuk kebebasan yang terkontrol. Benarkah tidak ada lagi pemuda yang berani lantang……..!? Kita justru meyakini masih ada dan semakin banyak!. Tapi suara mereka telah di bungkam oleh virus-virus pragmatisme didalam logika fungsional. Para redaktur surat kabar lebih senang memuat penulis yang “moderat” melihat persoalan kebangsaan, dengan dalih kompetensi penulis, wawasan dan kaidah penulisan. Apakah itu penting? Mungkin ya, dalam dunia akademis yang dingin dan kaku. Tapi sebagai kobar respon terhadap neo-tirani yang menindas rakyat, mereka hanyalah kumpulan pengecut yang di anggap telah jadi “orang” oleh budaya kita.

Masyarakat kita telah bebal dan menganggap korupsi, pejabat kotor, ketidakadilan dan kemiskinan, DPR sebagai lembaga pendapat umum telah dipenuhi oleh badut-badut fungsional yang hanya berbicara demi kepentingan sesaat, beginilah nasib menjadi Indonesia. Kritik yang sering mereka lihat dan dengar di tengah media justru dalam bentuk sindiran dan guyonan yang n’jawani. Penuh gelak tawa dan ketidakseriusan ala kaidah “kekeluargaan” dari puncak budaya jawa yang menjadi nasional.

Masyarakat harus di didik dengan lantang apa itu kritik dan sikap yang tegas..!!! Harus di biasakan membangun perlawanan, mulai hal terkecil urusan lampu jalan yang tak menyala hingga penjualan aset negara. Dari penguasaan lahan parkir oleh pengusaha hingga lahan alam yang beralih kepemilikan pada kaum modal.

(Ketika tulisan ini dituangkan…sekumpulan anggota DPR…sedang berdebat mencalonkan figurenya untuk menjadi gubernur Bank Indonesia)

Teriakkan yang bisa engkau teriakkan..!!! Pamflet ini ditulis bukan karena cerdas, tapi karena lapar. Berani berteriak bukan karena bercita-cita pahlawan, tapi karena terhimpit keadaan. Berani bersikap bukan karena kesatria, tapi karena kita tahu sedang ditindas. Kita boleh bermimpi, bahwa buruh, bapak petani kita, ibu pedagang kita, mbak penjahit, adik pengamen jalanan: Membuat Blog dan Berteriak Lantang tentang Hidup Merdeka..!!! Agar terbuka mata hati yang telah melupakan kemanusiaan dan keadilan.

(Ketika tulisan ini hampir selesai ada anggota DPR sedang menyusu ditetek wanita bayaran yang dikirimkan oleh seorang direktur BUMN)

Mari kita kampanyekan hal ini.
Bersama. Berjejaring. Bermimpi. Perubahan bukan hal yang tidak mungkin terjadi.

(Ketika tulisan ini selesai ada beberapa pemilik capital sedang patungan mengumpulkan uang yg akan diguyurkan digedung parlemen..demi lahirnya kembali suatu produk Undang-Undang yang tidak perlu memikirkan rakyat)

Note: dr segala sumber

Posting Komentar